Industri Petrokimia Indonesia Diambang Kehancuran

Loading

1960912884p.jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

PEMERINTAH sebagai regulator dan fasilitator diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dunia usaha dan masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa hari esok lebih baik dari hari ini.

Yang tak kalah penting adalah tindakan yang dilakukan pemerintah mampu mendorong terciptanya efisiensi dan produktifitas dalam kehidupan ekonomi di dunia usaha dan masyarakat.

Apa yang tersirat dari pemahaman ini ada dua dimensi nilai yang dapat kita catat. Pertama, setiap tindakan pemerintah meskipun bentuknya hanya berupa regulasi dan layanan, output yang dihasilkan harus memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan memperlancar kegiatan dan proses ekonomi yang berlangsung di masyarakat.

Pemerintah diharapkan menjalankan tugasnya dengan baik sebagai regulator dan fasilitator dan mampu memberikan jalan bagi dunia usaha dan masyarakat mengurus rumahtangga ekonominya. Disini peran pemerintah akan dinilai berhasil menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Kualitas produk kebijakan yang dihasilkan menjadi penting dan efektifitasnya benar-benar dirasakan berbagai rumahtangga ekonomi di masyarakat. Kedua, jika tidak mampu mengatasi berbagai masalah yang muncul dan menghambat kegiatan dan proses ekonomi, tindakan pemerintah bisa dinilai “gagal” mengenal persepsi, preferensi dan dinamika perilaku dari para pelaku pasar yang sesungguhnya akan memberikan respon terhadap kebijakan ekonomi.

Contoh paling nyata ketika pemerintah menetapkan harga gas untuk industri  6 dolar AS/mmbtu, dunia usaha meresponnya tidak positif karena dinilai masih terlalu tinggi karena ketika dijual untuk keperluan ekspor, harganya bisa dilepas 3 dolar AS.

Kebijakan semacam itu dinilai tidak mencerminkan keadilan sehingga industri petrokimia, baja, semen dan keramik kehilangan daya saing internasionalnya di dalam negeri akibat harus membayar harga gas yang lebih mahal.

Format kebijakan semacam ini harus dikoreksi karena jika tidak, tindakan pemerintah tersebut menjadi bersifat distortif terhadap pertumbuhan investasi dan produksi pada industri pengguna gas di dalam negeri.

Tindakan pemerintah yang demikian tentu tidak sehat karena menjadi kontra produktif terhadap upaya penumbuhan ekonomi nasional. Ada paradoks dihadapi Indonesia di dalam negeri. Di satu pihak pemerintah mempunyai mimpi membuat ekonominya tumbuh tinggi pada kisaran 6-7% sampai tahun 2019.

Namun pada kenyataannya mewujudkan mimpi tersebut tidak mudah karena regulasi yang dibuat pemerintah harmonisasinya sangat rendah karena warnanya yang menonjol adalah ego sektoral. Dalam kasus industri, Asosiasi Produsen Kimia Organik Dasar Indonesia (APKODI) mengatakan, industri petrokimia Indonesia diambang kehancuran.

Pernyataan ini disampaikan pada forum sinergi progam Ditjen IKTA, Kemenperin 10-12 Agustus 2016 di Surabaya. Industri olefin Indonesia, saat ini berada pada urutan 30, jauh di bawah Thailand (17) dengan kapasitas 2.260.000 ton, Singapura (18) dengan kapasitas 1.900.000 ton dan Malaysia (19) dengan kapasitas 1.700.000 ton. Kapasitas produksi Indonesia saat ini hanya 860.000 ton.

Berkaitan dengan permasalahan ekonomi riil di dalam negeri yang diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan pemerintah. Antara lain perlu segera melakukan harmonisasi regulasi, yang kontennya dapat menjawab kepastian hukum dan memberikan kemudahan.

Di sektor prioritas nasional yang bersifat strategis, seperti dalam pengembangan industri berbasis sumber daya alam, pemerintah dapat melakukan investasi langsung melalui BUMN yang sudah ada atau membentuk BUMN baru menjadi pelaku pionir industri dalam rangka hulunisasi industri dan hilirisasi industri.

Tanpa ada investasi langsung dari pemerintah, sulit mengharapkan investasi swasta di hulu industri karena memerlukan investasi besar, imbal hasil yang rendah, berjangka panjang dan/atau beresiko tinggi, namun tetap memiliki economic outcomes yang tinggi.

Kita berharap sebagian dana repatriasi dapat diinvestasikan, misalnya di sektor industri petrokimia hulu yang sekian lama investasinya tidak tumbuh sehingga di sektor industri olefin, posisi Indonesia kalah dengan Thailand, Singapura dan Malaysia.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS