Industrial Problem Solving

Loading

index.jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

MASALAH tidak pernah habis selama masih ada yang menciptakan masalah. Membuat putih bersih tanpa ada masalah tentu ideal, tetapi itu hanya ada dalam ilusi karena masalah akan selalu hadir dalam situasi apapun.

Melaksana kan pembangunan industri di Indonesia terlalu  banyak problem yang dihadapi. Kalau diurai satu persatu daftarnya bisa panjang. Tapi kalau diringkas hanya ada satu masalah yang perlu dipecahkan, yakni “daya saing industri”.

Daya saing diperlukan agar produk yang dihasilkan laku dijual di pasar. Apapun prosesnya dan berapapun kapasitasnya, jika tak berdaya saing, lambat atau cepat industri tersebut akan sirna dari sirkulasi kegiatan ekonomi dan bisnis.

Hukum besinya seperti itu adanya. Di republik ini ada kategori industri dilihat dari sisi keberadaannya. Sisi pertama berada dalam kelompok yang eksisting dan sisi kedua yang tergolong baru direncanakan akan dibangun. Keduanya menghadapi masalah.

Industri eksisting menghadapi problem daya saing.Yang sedang direncanakan mempunyai masalah bagaimana merealisasikan pembangunan pabriknya. Betapapun beratnya beban masalah yang dipikul, harus ada tindakan dari pemerintah mengatasinya.

Pemerintah harus tahu ada berapa pabrik yang masih beroperasi, berapa yang sudah tidak beroperasi dan berapa yang oleh pemilik nya diakuisi/di-takeover oleh pemilik baru, serta berapa yang dimerger.

Langkah ini sebagai upaya pertama yang harus diketahui. Dan fenomena itu terjadi, pasti karena ada masalah. Saat ini perusahaan industri berskala besar dan sedang yang tercatat BPS tahun 2014 sebanyak 18.640 unit usaha.

Dari jumlah tersebut, 82,6%  berada di Jawa. Di Sumatera 10,5%, Kalimantan 1,9%, Sulawesi 2,6%,bali dan Nusa Tenggara 2,0% dan Papua 0,5%. Dengan demikian masalah pertama yang dihadapi adalah ketimpangan.

Pertanyaan berikutnya apakah semuanya masih beroperasi. Tahun 2015, industri hanya tumbuh 4,25%  dan menyumbang PDB 20,84%. Tahun 2016, semester-II tumbuh 4,54%  di bawah laju pertumbuhan ekonomi  5,05%. Pada akhir tahun 2016, diharapkan dapat tumbuh 5,40%  dengan menyumbang PDB sebesar 20,95%.

Industri tumbuh rendah berarti ada masalah, baik bersifat internal maupun eksternal. Isu-isu kekinian yang menjadi masalah sebaiknya terindentifikasi dengan tepat dan benar di setiap sektor. Ada masalah yang bersifat umum dihadapi semua sektor dan ada masalah yang bersifat spesifik di setiap sektor.

Menemu kenali masalah menjadi tugas utama pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator maupun fasilitator. Celotehan Asosiasi sudah sangat keras disampai kan kepada pemerintah agar masalah yang dihadapi sektor industri dapat diatasi dan diselesaikan satu persatu.

Waktu tiga tahun ke depan lebih baik pemerintah mengatasi masalah industri eksisting untuk menyelamatkan dari ancaman

de-industrialisasi. Mengatasi pertumbuhan rendah akibat solusinya tak kunjung hadir menjadi celotehan sebagian asosiasi. Dilema dan trade off kebijakan mulai bermunculan.

Salah satunya muncul adalah isu moratorium CPO versus hilirisasi CPO. Begitu pula di sektor pengolahan kakao menghadapi masalah kelangkaan bahan baku versus hilirisasi. Harga gas di dalam negeri lebih mahal dari harga ekspor sehingga industri pengguna gas sebagai feed stock maupun sebagai energi harus membayar mahal.

Di dalam negeri  ada yang harus membayar 9-11 dolar per mmbtu, padahal kalau diekspor bisa dilepas dengan harga 5-6 dolar per mmbtu. Menteri Perindustrian sudah melakukan koordinasi dengan kementrian lain untuk menurunkan harga gas untuk industri menjadi sekitar 4 dolar AS per mmbtu. Ki ta menunggu keputusan dari pemerintah karena harga gas diatur dalam Perpres 40/2016.

Masalah yang dihadapi industri tidak akan bisa diatasi kemenperin sendiri. Karena itu, pemerintah perlu membentuk Satgas debottlenecking untuk mengurai dan sekaligus menyelesaikan berbagai masalah industri di semua sektor yang kini masih bisa bertahan hidup meskipun menghadapi jeratan masalah yang mengganggu proses bisnis yang mereka jalani.

Cukup ironis masalah yang dihadapi sektor industri dewasa ini. Kegiatan monitoring dan evaluasi at company level perlu dilakukan oleh kemenperin karena publik melihat progam ini tidak tertangani dengan baik.

Fungsi kemenperin yang berkaitan dengan pengaturan, pembinaan dan pengembangan industri perlu didayakan gunakan agar dapat menjalankan peran sebagai industrial problem solving. Ada dua tantangan yang perlu dijaga, perkembangan dan pertumbuhan industri eksisting,dan yang sekarang ada di BKPM macet hanya memegang izin prinsip dan hingga kini belum merealisasikan proyeknya.

Pertumbuhan industri selalu bisa diukur dengan dua instrumen sederhana, yakni kinerja eksisting industri yang masih beroperasi secara optimal dan adanya tambahan investasi baru. Tidak ada salahnya kalau diinternal kemenperin sendiri dapat di bentuk Satgas yang bertugas melakukan identifikasi masalah industry dan merekomendasikan jalan keluarnya kepada menteri perindustrian.

Pekerjaan ngukir langit nampaknya harus dikurangi dan kita fokus bekerja cari kutu menelisik satu persatu masalah industri di setiap sektor. Di era sekarang penyelesaian masalah di negeri ini terkait ekonomi selalu akan beririsan dengan soal politik  (ini terkait masalah kebijakan/ regulasi) dan ada masalah-masalah yang bersifat teknis sehingga penyelesaian atas masalah yang dihadapi semestinya dapat diatasi di tingkat kementrian sendiri.

Contoh soal harga gas, soal moratorium CPO pasti penyelesaiannya  dilakukan melalui “proses politik”, karena keputusan finalnya ditetapkan oleh presiden. Aneh jika persoalan dalam negeri tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Lantas siapa yang harus akan bertindak sebagai problem solvernya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS