Integrasi Antarmoda dan Biaya Transportasi Umum Berbasis UMR

Loading

Oleh: Efendy Tambunan

kemacetan

LALU lintas di DKI Jakarta semakin macet sementara solusi mengurangi kemacetan hanya bersifat parsial. Biaya transportasi dan biaya sosial semakin meningkat, dan emisi gas buang kendaraan akibat kemacetan sudah mengganggu kesehatan. Alhasil, hidup di Kota Jakarta semakin tidak nyaman dan mahal.

Kemacetan terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat, serta menyebar merata hampir di semua jaringan jalan di Jakarta. Intensitas land use yang mengakibatkan bangkitan dan tarikan lali lintas (trip generation) dan ketergantungan tinggi pada kendaraan pribadi (roda dua dan empat) menjadi sumber utama kemacetan. Disisi lain, angkutan umum (mikrolet, bis, Commuter Line) tidak menjamin rasa aman dan nyaman.

Untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, diperlukan terobosan dan langkah berani dari Pemprov DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat. Salah satu upaya yang sedang dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat ini adalah membangun MRT. Upaya lain yang perlu segera ditindaklanjuti adalah integrasi antarmoda dan menyediakan tiket bulanan antarmoda untuk warga Jakarta dengan harga 5 persen dari UMR. Tiket perjalanan tersebut dapat digunakan untuk semua jenis transportasi umum, dan dapat dipakai 24 jam.

Masalah angkutan umum
Menurut penulis, headway (jarak waktu kedatangan suatu moda dengan moda berikutnya) Bus Transjakarta belum konsisten. Akibatnya, penumpang sering menunggu lama dan penumpang membludak di Halte Transjakarta. Alhasil, para penumpang tidak nyaman menggunakan Bus Transjakarta. Pelayanan Bus Transjakarta saat ini dibawah Standar Pelayanan Minimum (SPM). Masalah tersebut bersumber dari jumlah dan kualitas Bus yang tidak memenuhi SPM.

Hal yang relatif sama terjadi pada pelayanan KAI Commuter Line. Menurut pengalaman penulis selaku pengguna Moda KAI Commuter line Koridor Maja-Tanah Abang atau Parung Panjang- Tanah Abang, pelayanan Commuter line bermasalah dengan headway dan konsistensi headway.

Pada jam sibuk (pick hour), headway Commuter Line tidak sesuai dengan jumlah penumpang. Headway Commuter Line pada jam sibuk sekitar 20 menit. Berdasarkan jumlah penumpang, headway moda tersebut idealnya paling lama 10 menit.

Selain masalah headway, masalah lainnya adalah konsistensi headway. Karena Rel Kereta Api Commuter Line dipakai bersama dengan Kereta Api Ekspress Jurusan Rangkas Bitung sehingga pada jam sibuk pagi hari di Stasion Tanah Abang, Commuter Line yang mendekat ke stasion tersebut sering menunggu. Akibatnya, jarak tempuh Commuter Line bertambah.

Integrasi antarmoda
Sebelum dilakukan integrasi antarmoda, masalah headway dan konsistensi headway harus dibenahi terlebih dahulu. Moda dan frekuensinya harus ditambah. Busway harus di sterilkan dan persimpangan sebidang pada Commuter Line harus dikurangi dengan membangun flyover atau underpass.

Pembangunan flyover atau underpass tidak selalu bisa dilakukan karena kebanyakan jalan di perlintasan merupakan jalan kecil. Solusinya, mengembangkan geometrik jalan supaya flyover atau underpass dapat dibangun.

Jika pembenahan sudah dilakukan dan pelayanan moda Transjakarta dan Commuter Line sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimum, maka integrasi antarmoda dapat dilakukan. Integrasi antarmoda sebaiknya dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan dimana lokasi stasion dan halte berdekatan, misalnya di Stasion Dukuh Atas dan Stasion Cawang. Kemudian di setiap stasion dihubungkan dengan bus pengumpan (feeder) yang menghubungkan stasion dengan halte transjakarta terdekat.

Setelah moda umum (public transportasion) terintegrasi barulah di berlakukan tiket yang berlaku untuk semua moda (one takes all). Integrasi antamoda harus menjamin rasa aman, nyaman, murah dan tepat waktu bagi penumpang. (Penulis: Dosen Teknik Sipil UKI dan Pendiri Toba Borneo Institut)***

 

CATEGORIES
TAGS