Jakarta Butuh Gubernur yang Ekstrem

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

KONDISI Jakarta sekarang ini yang sarat dengan berbagai permasalahan, membutuhkan seorang gubernur yang ekstrem. Seperti mengatasi masalah kemacetan lalu lintas yang diperkirakan tahun 2014 bisa macet total, masalah banjir yang tiap tahun selalu mengancam sebagian besar warga kota Jakarta, serta semakin senjangnya kehidupan rakyat miskin dengan berbagai implikasinya. Untuk mengatasi hal itulah dibutuhkan cara-cara penanganan yang ekstrem, tidak bisa lagi yang biasa-biasa saja.

Kita teringat pada masa awal kepemimpinan Ali Sadikin. Ia harus membangun Jakarta dengan pendapatan asli daerah yang hampir tidak berarti. Sebagai seorang jenderal marinir, ia harus memutar otak untuk mencari dana pembangunan, diantaranya mengizinkan tempat perjudian (kasino) untuk mendapatkan dana yang cepat dan besar.

Sehingga, ketika meresmikan satu proyek di Tanjung Priok, ia berpidato dengan berang: ”Bagi yang tidak setuju, bilang sama dia, jangan lewat di jalan saya, karena ini dibangun dari uang judi. Para pemimpin redaksi yang menulis tajuk dan ulasan-ulasan yang mengkritik, suruh ketemu, biar saya kentuti!”

Cerita tentang Ali Sadikin ini, juga diungkapkan Karni Ilyas dalam acara ”Indonesia Lawyers Club” di TV One, baru-baru ini. Ali Sadikin memang benar-benar ekstrem dan mengomando semua anak buahnya untuk bekerja ”all out” membangun Jakarta. Ia paling duluan masuk kantor dan semua klipping koran dijadikan ”sarapan pagi”nya, sehingga ia tidak menerima laporan asal bapak senang (ABS).

Ia tidak segan turun dari mobilnya untuk mengurai lalu lintas dan menegur pengemudi yang bikin macet. Ia melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke tempat sampah yang menggunung, gorong-gorong yang mampat, jalan sempit yang perlu diperlebar dan permukiman kumuh, yang kemudian melahirkan proyek perbaikan kampung Mohamad Husni Thamrin (MHT).

Dalam waktu yang tidak lama, ia membangun jalan-jalan hotmix dan diperlebar, membangunan pasar-pasar, gedung-gedung sekolah, gelanggang olahraga, taman-taman rekreasi, pusat seni dan budaya seperti TIM, dll. Cara komando Ali Sadikin ini mungkin sudah berbeda dengan keadaan sekarang. Akan tetapi, kejelian menangkap peluang untuk mengumpulkan dana pembangunan tetap sama, dan kemungkinan sekarang lebih besar dan bervariasi.

Menangkap Peluang

Dalam suatu diskusi terbatas sebuah surat kabar Ibukota baru-baru ini, terungkap bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama ini belum mampu menangkap peluang dari pertumbuhan Jakarta sebagai pusat prekonomian yang terbesar di Indonesia. Pemprov DKI Jakarta belum mampu memanfaatkan secara maksimal potensi bisnis, maupun perputaran dana asing dan domestik yang beredar di Jakarta, untuk mendanai semua sektor pembangunan fisik yang dibutuhkan kota metropolitan Jakarta..

Hal itu dibuktikan dari besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta, seperti pada tahun 2011 yang lalu, hanya mencapai Rp31,75 triliun, tidak sebanding dengan besarnya produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta pada tahun itu sebesar Rp 982,54 triliun. Semestinya, apabila mampu menangkap peluang, Pemprov DKI Jakarta bisa meraup dana sekitar 10 persen dari PDRB DKI Jakarta tersebut.

Artinya, APBD DKI Jakarta bisa mencapai besaran Rp90 triliun, atau tiga kali lipat dari APBD DKI yang diperoleh pada tahun 2011. Dengan perolehan dana yang lebih besar, tentu akan lebih mampu meningkatkan belanja pembangunan yang lebih besar pula. Sehingga, Pemprov DKI Jakarta akan lebih mampu dan lebih cepat menanggulangi masalah besar di Jakarta, seperti membangun infrastruktur yang lebih memadai untuk mengatasi kemacetan dan pengadaan transportasi publik, mengatasi banjir, serta kesenjangan hidup warga miskin perkotaan.

Jadi melihat PDRB DKI Jakarta yang cukup besar, yang hampir Rp1.000 triliun, maka calon DKI 1 kalau jeli, masih punya pelung untuk memperbesar APBD DKI Jakarta guna membiayai pembangunan. Sehingga, semua visi/misi dan program yang hebat-hebat yang diusung para calon DKI 1 untuk tahun 2012-2017, akan dapat terwujud. Tanpa dana yang cukup, tentu tidak bisa membangun infrastruktur, membiayai sekolah gratis, pengobatan gratis dan membantu rakyat miskin dll.

Atau mungkin, perolehan dana dari lapangan cukup besar, tetapi tidak semua masuk ke APBD DKI Jakarta, alias banyak bocor di tengah jalan. Karena, tidak tertutup kemungkinan “gayus tambunan-gayus tambunan” dan “dhana widyatmika-dhana widyatmika” dari Ditjen Pajak, ada pula di birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Cecurut-cecurut seperti inilah yang perlu di “suntik mati” oleh Calon DKI 1 kelak. Adakah yang berani?***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS