Jakarta Butuh Lurah dan Camat yang Profesional

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Ilustrasi

Ilustrasi

JAKARTA sebagai Ibukota Negara, membutuhkan lurah dan camat yang profesional. Sebanyak 311 calon untuk Lurah dan Camat se-DKI Jakarta, mulai tahun 2013 ini, akan terlebih dahulu mengikuti seleksi yang ketat.

Jabatan pimpinan wilayah di Jakarta, dituntut lebih profesional untuk menganalisis, dan mencari solusi masalah yang dihadapi masyarakat. Kemampuan dan keterampilan inilah yang diuji secara berjenjang, mulai dari seleksi administratif, hingga uji publik. Mulai 1 April ini akan dibuka pendaftaran bagi calon, dengan syarat dan ketentuan yang bisa dilihat di website: www.jakarta.go.id

Khusus di DKI Jakarta, menurut Gubernur Joko Widodo alias Jokowi dan Wagub Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, para calon lurah dan camat dilelang, dan dipersilakan mempresentasikan kebolehannya di depan tim penilai yang terdiri dari unsur-unsur praktisi, akademisi, LSM dan kaum profesional. Siapa calon yang terbaik, itulah yang bisa diangkat menjadi lurah dan camat. Semua transparan, tidak didasarkan pada suka dan tidak suka, atau karena kerabat, keluarga dll.

Baik Gubernur Jokowi, maupun Wagub Basuki mengharapkan lelang jabatan ini bisa berdampak positif bagi birokrasi di Ibu Kota. “Tidak ada lagi penunjukan lurah atau camat seperti sebelumnya,” kata Ahok, baru-baru ini. Namun yang menjadi persoalan sekarang ini, tidak ada dana untuk membiayai seleksi tersebut, yang diperkirakan mencapai antara Rp 6 miliar hingga Rp 7 miliar. Wagub Basuki mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta tidak ingin mengeluarkan anggaran sebanyak itu dari APBD, selama ada pihak ketiga yang berniat membantu. Dia akan menyampaikan proposal program ini kepada para duta besar di Jakarta, yang dia yakin mereka akan mendukung dan berkepentingan dengan peningkatkan pelayanan pemerintahan di Jakarta.

Badan Kepegawaian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyusun mekanisme lelang jabatan camat dan lurah. Yakni pertama, seleksi administrasi, yakni pesetra harus memenuhi syarat eselon, kepangkatan dan golongan. Kedua, seleksi kesehatan oleh instansi kesehatan yang ditunjuk. Ketiga, seleksi pengetahuan pemerintahan. Keempat, peserta diminta membuat analisis mengenai kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman di wilayah yang akan dipimpinnya. Kelima, tes psikologi oleh para psikolog yang ditunjuk. Keenam, tes komunikasi atau wawancara di hadapan tim punguji, dan ketujuh, uji publik nama yang lolos seleksi, dimana seluruh warga kota bisa mengomentari calon pejabat lurah dan camat tersebut sebelum disahkan.

Lelang jabatan ini dilakukan sesuai dengan Surat Edaran Kementerian Pendayagunan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2012, yang antara lain menyatakan, bahwa perekrutan pejabat eselon I sampai eselon V bisa dilakukan secara terbuka. Menurut ketentuan yang berlaku, kualifikasi kepangkatan untuk jabatan camat harus berasal dari eselon III D atau IV A, sedangkan untuk jabatan lurah harus dari eselon IV B atau IV C. Ketentuan ini, ini tertuang pula dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2008, tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Pro dan Kontra

Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta ada yang setuju dan tidak setuju tentang program lelang jabatan ini. Yang setuju meminta, agar peserta lelang jabatan lurah dan camat di DKI Jakarta, harus berasal dari pegawai Pemprov DKI Jakarta, bukan dari luar. Rencana ini tidak melanggar aturan, asal memenuhi ketentuan dalam Perda No 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Namun, yang tidak setuju mengatakan, bahwa lelang jabatan camat dan lurah di DKI Jakarta, bakal merusak tatanan birokrasi, karena posisi lurah dan camat, bukan jabatan politis, melainkan jabatan karier.

Namun yang paling mengemuka saat ini, adalah soal anggaran untuk seleksi yang akan dibiayai dari dana tanggung jawab sosial perusahaan, yang dikenal dengan dana CSR. Rencana penggunaan CSR ini, pada awalnya disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, karena memang untuk program ini tidak dianggarkan dalam APBD DKI Jakarta Tahun 2013.

Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khazdafi mengatakan, penggunaan dana CSR untuk kepentingan reformasi birokrasi akan menjadi bias, karena penyandang dana dari pihak swasta. Selain sulit dikontrol oleh DPRD DKI Jakarta, hal ini juga membuka peluang kepentingan pihak swasta dalam pengambilan keputusan pemerintah. Ia menyarankan, apabila belum ada dana saat ini di APBD DKI tahun 2013, sebaiknya dana CSR tersebut dimasukkan dulu ke APBD untuk tahun berikutnya. Sehingga, penggunaannya dapat dikontrol DPRD.

Namun, Direktur Program MM CSR Universitas Trisakti, Maria Nindita Radyati tidak setuju dana CSR dimasukkan dalam APBD, karena bertentangan dengan hakikat CSR. CSR harus didesain dan dilaksanakan oleh perusahaan, bermitra dengan pihak ketiga, seperti organisasi, universitas, konsultan atau pemerintah. Tujuan utama CSR adalah meningkatkan reputasi perusahaan dan memberikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat.

Ketua Forum CSR DKI Jakarta, yang juga Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, Sarman Simanjorang mengatakan, dana CSR murni untuk kegiatan sosial bagi masyarakat, dalam hal ini mempercepat penanggulangan kemiskinan, bukan untuk birokrasi.

“Dengan dana APBD DKI Jakarta tahun 2013 sebesar Rp49,9 triliun, alangkah memalukan kalau dana seleksi lurah dan camat diambil dari dana CSR,” kata Sarman. Sebaiknya, Jokowi dan Basuki ambil dana dari APBD saja, atau kalau DPRD tidak setuju, tunggu saja bantuan asing dari kebubes-kedubes di Jakarta yang sudah disurati. Tujuan mereformasi birokrasi di Jakarta, memang perlu didukung dan sudah sangat mendesak, agar lurah dan camat berlomba-lomba berprestasi. ***

CATEGORIES
TAGS