Site icon TubasMedia.com

Jaksa Agung: Hukum Mati Koruptor !!!

Loading

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Jaksa Agung ST Burhanuddin menilai saat ini kasus korupsi di Indonesia semakin merajalela. Oleh karena itu, Burhanuddin mendorong agar diterapkan hukuman mati bagi kasus korupsi.

“Di sisi lain fenomena korupsi di Indonesia justru semakin menggurita, akut, sistemik serta menjadi pandemi hukum yang ada di setiap lapisan masyarakat,” kata Burhanuddin, dalam webinar bertajuk ‘Efektivitas Penerapan Hukuman Mati Terhadap Koruptor Kelas Kakap’ yang disiarkan secara virtual melalui YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Kamis (25/11).

Burhanuddin menilai upaya pemberian efek jera terhadap pelaku kasus korupsi belum terlihat maksimal karena semakin maraknya kasus korupsi saat ini. Oleh karena itu, dia menilai perlu ada ancaman hukuman yang dapat memberikan efek jera bagi koruptor.

“Fenomena ini menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan melalui tindakan tegas kepada para koruptor belum dapat ditangkap seutuhnya oleh masyarakat sehingga seperti pelaku tindak pidana korupsi seperti patah tumbuh hilang berganti.

Oleh karena itu kejaksaan merasa perlu dengan terobosan hukum dengan penerapan hukuman mati sebagai tonggak pemberantasan korupsi dan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat untuk dan jangan sekali-kali korupsi,” katanya.

Burhanuddin membeberkan sejumlah upaya kejaksaan dalam memberantas korupsi, yaitu mulai dari menjatuhkan tuntutan berat sesuai tingkat kejahatan, melakukan pola follow the asset, memiskinkan koruptor dengan cara merampas aset koruptor sehingga tak hanya mempidanakan badan, memberikan status justice collaborator secara selektif dan mengajukan gugatan keperdataan bagi pelaku yang meninggal dunia atau bagi pelaku yang diputus bebas di kasusnya tetapi ada kerugian negara di dalamnya.

Burhanuddin menilai oleh karenanya sanksi pidana mati sebagai salah satu upaya represif dan preventif dalam kasus korupsi. Ia menilai sanksi pidana dapat berperan sebagai alat memutus jalur-jalur korupsi, pemulihan, pemberian efek jera dan sekaligus sebagai pendidikan agar kejahatan tidak diulang atau ditiru.

“Sanksi yang berat dihadapkan membuat pelaku kejahatan dan masyarakat menjadi takut dan dia akan mengurungkan melakukan kejahatan. Kajian terhadap pelaksanaan hukuman mati khususnya kepada para koruptor perlu kita perdalam bersama-sama,” ujarnya.

Perlindungan HAM

ST Burhanuddin menilai hukuman mati masih memungkinkan diterapkan sepanjang masih diatur dalam undang-undang. Selain itu, Burhanuddin menilai masyarakat menganggap hukuman mati masih diperlukan untuk menjamin perlindungan HAM.

Awalnya Jaksa Agung ST Burhanuddin berbicara terkait adanya aktivis HAM yang menolak hukuman mati, namun Burhanuddin menilai hukuman mati masih dapat diterapkan sepanjang masih ada di dalam undang-undang.

Burhanuddin menilai korupsi merupakan kejahatan yang dapat merugikan negara sehingga tak ada alasan untuk tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Burhanuddin menilai koruptor sebagai penjahat kemanusiaan dan musuh bersama sehingga harus diberantas.

“Ingat, koruptor adalah penjahat kemanusiaan dan musuh kita bersama yang harus kita tumpas. Jika ada pihak-pihak yang mempertanyakan atau kontra terhadap hukuman mati, harus ada batu uji yang mencakup ideologi konstitusi teori hukum, norma hukum, efikasi masyarakat,” kata Burhanuddin.

Burhanuddin mengatakan dalam ideologi Pancasila terdapat ketentuan tentang keadilan sosial bagi rakyat. Ia menilai pidana mati bagi koruptor masih diperlukan sebagai perlindungan HAM.

“Saya menilai masyarakat masih memandang perlu adanya pidana mati bagi koruptor sebagai perlindungan HAM dan memenuhi harapan keadilan masyarakat. Semakin tinggi kualitas kejahatan, semakin tinggi juga kualitas disharmonisasi sosialnya yang ditimbulkan pada masyarakat,” katanya.

Lebih lanjut Burhanuddin menilai, penjatuhan sanksi pidana mati harus dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan kondisi sosial yang terguncang akibat adanya kejahatan tersebut.

Selain itu, ia menilai sejatinya hak asasi seharusnya berjalan beriringan dengan kewajiban asasi. Dengan begitu, jika ada pihak yang melanggar hukum, negara dapat mencabut HAM seseorang.

“Negara dapat mencabut HAM setiap orang apabila tersebut melanggar undang-undang. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 J ayat 1 UUD 45 yang telah mewajibkan setiap orang untuk menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” katanya.

“Dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 45 telah menegaskan jika HAM dapat dibatasi dan bersifat tidak mutlak. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 28 J ayat 2 UUD 45, yang merupakan pasal penutup tentang HAM, maka penjatuhan sanksi pidana mati koruptor yang selama ini terhalangi oleh persoalan HAM dapat ditegakkan,” tutur Burhanuddin.

Ia menambahkan kajian hukuman mati bagi kasus korupsi dilatarbelakangi banyaknya kasus korupsi yang makin merajalela. Ia menilai belum ada efek jera yang mengena ke masyarakat dengan adanya hukuman saat ini.

“Saya menegaskan kembali bahwa gagasan untuk menghukum mati koruptor adalah bentuk manifestasi kegalauan pemberantasan tindak pidana korupsi, mengapa ribuan sudah diungkap dan ribuan pelaku korupsi telah ditindak, tapi justru kualitas dan tingkat kerugian negara justru semakin meningkat,” ucap Burhanuddin.

“Suatu hal yang perlu kita renungkan bersama adalah bahwa ternyata efek jera hanya mengena para terpidana untuk tidak mengulangi kejahatan. Efek jera ini belum sampai ke masyarakat karena koruptor silih berganti dan tumbuh di mana-mana,” imbuhnya. (sabar)

Exit mobile version