Jaminan Kesehatan Dijadikan Alat Kampanye

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

Ilustrasi

HAMPIR semua calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta saat ini mengampanyekan mengusahakan jaminan kesehatan untuk menarik suara para calon pemilih. Dikatakan, kalau mereka terpilih, semua penduduk akan diberikan kartu sehat. Bahkan, ada iklan yang mengucapkan terima kasih kepada calon gubernur petahana yang sudah melaksanakan jaminan kesehatan, dan berharap bisa terpilih kembali guna meneruskan programnya.

Memang, masalah kesehatan ini merupakan dasar penting untuk kehidupan, selain persediaan makanan, kebutuhan sandang dan pendidikan. Oleh karena itulah para calon DKI 1 yang sedang merebut simpati rakyat Jakarta sekarang ini, berlomba-lomba menjanjikan programnya akan berusaha meningkatkan kehidupan masyarakat, memberi jaminan kesehatan dan pendidikan.

Dikampanyekan, bahwa kartu sehat akan diberikan kepada seluruh penduduk Jakarta, tidak hanya bagi orang miskin atau golongan masyarakat yang tidak mampu. Bila mau berobat, cukup tunjukkan KTP! Apa benar segampang itu? Rakyat sudah bosan janji-janji. Harus benar-benar dibuktikan kelak.

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) memang selama ini sudah santer dikeluarkan Pemerintah Pusat dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) oleh Pemerintah Daerah, dengan menyediakan biaya yang cukup besar dari APBN maupun APBD. Namun, dalam pelaksanaan, santer pula terdengar keluhan masyarakat tentang buruknya pelayanan kesehatan, masih dibebankan pula biaya pengobatan yang cukup mahal dan ada pula pasien yang ditolak dari rumah sakit karena tidak ada uang jaminan. Untuk mendapatkan kartu Jamkesmas atau Jamkesda pun, harus melalui birokrasi yang panjang dan berliku.

Belum lama ini, PT Jasa Raharja, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menandatangani nota kesepahaman tentang pelayanan kesehatan bagi korban kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 17 rumah sakit, umumnya milik pemerintah di Jakarta, menjadi rujukan pelayanan bagi korban lalu lintas, dari hanya 5 rumah sakit selama ini. Dalam nota itu, setiap korban lalu lintas wajib diterima rumah sakit bersangkutan untuk dilayani, dan biaya pengobatan akan dibayar Jasa Raharja.

Dalam nota ini pula disebutkan, korban lalu lintas yang dibawa ke rumah sakit rujukan, wajib diterima, dan harus langsung ditangani tim medis setempat, tanpa bertanya siapa yang akan bertanggung jawab atas biaya pengobatan, karena biaya pengobatan akan dibayar Jasa Raharja, sesuai peraturan di Jasa Raharja, yakni plafon pengobatan untuk yang luka-luka maksimal Rp 10 juta, dan santunan bagi yang meninggal dunia sebesar Rp25 juta.

Saat terjadi kecelakaan, pihak Dinas Kesehatan juga bisa datang untuk menangani korban di lokasi kejadian. Hal ini sesuatu yang jarang terjadi. Sedangkan pihak kepolisian ditugaskan menangani perkaranya dan menyiapkan administrasi yang dibutuhkan Jasa Raharja. Dengan demikian, Jasa Raharja dapat membayar biaya rumah sakit bila dirawat atau klaim kematian bagi korban yang meninggal kepada ahli warisnya.

Dalam nota kesepahaman itu juga ditegaskan, polisi wajib membuat laporan kepolisian dan berita acara, serta menggambarkan proses kecelakaan dan lokasi kejadian yang dibutuhkan oleh Jasa Raharja. Polisi juga wajib menghubungi pihak keluarga korban, terutama bila korban meninggal dunia, dan memastikan ahli waris yang berhak menerima santunan. Padahal selama ini, justru keluarga korbanlah yang harus berurusan ke polisi.

Implementasi

Sebenarnya, uang yang diberikan kepada masyarakat itu adalah juga bersumber dari masyarakat. Bagi korban kecelakaan lalu lintas adalah dari uang yang dikumpulkan Jasa Raharja dari assuransi yang dikenakan terhadap setiap pembelian karcis angkutan umum, dari setiap pengurusan surat izin mengemudi (SIM) kendaran bermotor, sumbangan wajib dana kecelakaan lalu lintas setiap tahun perpanjangan pembayaran pajak dan STNK, dll.

Namun, tanggung jawab Jasa Raharja sebagai pengumpul, kurang transparan, sehingga tidak semua masyarakat mengetahui haknya. Banyak korban lalu lintas yang tidak mengetahui haknya, sehingga keluarga korban terpaksa menanggung sendiri biaya perawatan rumah sakit atau dukun patah.

Sedangkan untuk Jamkesmas dan Jamkesda juga demikain. Adalah kewajiban Pemerintah Pusat dan Daerah memberi jaminan kesehatan kepada rakyatnya, dari uang yang dikumpulkan oleh pemerintah melalui pungutan pajak, retribusi dan pungutan lain dalam APBN, maupun APBD.

Hal ini bukan uang hadiah atau pengasihan presiden, gubernur, pejabat di bawahnya, atau instansi yang diberi tugas seperti Jasa Raharja. Pemerintah atau instansi bersangkutan seharusnya sadar bahwa fungsinya adalah untuk mengkoordinasi dan mengelola uang jaminan kesehatan itu dengan baik. Oleh karena itu, implementasi yang sebaik-baiknyalah yang sesungguhnya diharapkan masyarakat dari gubernur dan pimpina Jasa Raharja, bukan hanya janji-janji atau nota kesepahaman.***

CATEGORIES
TAGS
NEWER POST
OLDER POST

COMMENTS