Janji Yang Macet

Loading

Ilustrasi

Ilustrasi

MACET ternyata bisa membawa dampak yang paling buruk. Kalau macet itu ada di jalan raya, bisa menimbulkan stres bagi orang yang terjebak dalam kemacetan dan bisa juga membawa dampak negatif terhadap roda perekonomian. Misalnya arus barang dan jasa menjadi tidak lancar menyebabkan ekonomi biaya tinggi sekaligus melemahkan daya saing produk.

Jika yang macet itu di dunia perbankan atau sering disebut kredit macet, di sini yang paling repot. Selain arus bolak-balik mata uang rupiah itu menjadi mandek, bisa-bisa terjadi pertumpahan darah alias pembunuhan.

Baru-baru ini kita dikagetkan peristiwa matinya seorang nasabah Citibank saat diinterogasi penagih utang yang dikenal dengan panggilan debt collector. Irzen Octa, demikian nama korban meninggal yang oleh debt collector dituduh punya kredit macet pada Citibank. Untuk mengetahui kebenaran kemacetan tersebut, korban diinterogasi di ruang interogasi hingga dia tewas di tangan para debt collector. Kasusnya kini ditangani aparat kepolisian.

Nah, ternyata yang macet bukan hanya di jalan raya atau di pihak perbankan. Di gedung dewan yang terhormat yakni gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlokasi di Senayan sana, konon kabarnya sering dan teramat sering terjadi kemacetan.

Bedanya, jika di jalan raya yang macet adalah kendaraan bermotor dan di bank adalah arus mata uang rupiah, maka jika di DPR adalah penepatan janji. Tidak sedikit jumlahnya janji yang diucapkan para anggota dewan yang terhormat itu macet di tengah jalan, bahkan hingga akhir jabatan para anggota dewan itu, janji-janji yang diucapkan sering tak terwujud.

Tidak kurang dari 550 anggota dewan ketika masih berstatus caleg (calon legislatif) saat kampanye pada pemilihan, mengucapkan (baca: mengumbar) janji yang indah-indah didengar telinga. Hampir tidak pernah para caleg itu menyuarakan kalimat yang menyakiti hati rakyat, bahkan sebaliknya, apapun yang diminta rakyat pemilih saat kampanye, dipenuhi para caleg dengan harapan agar mereka dipilih kemudian duduk di ruang sejuk ber-air conditioner di Senayan.

Namun kini setelah berubah nama dari caleg menjadi anggota dewan, janji-janji manis tadi terlupakan. Malah Ketua DPR Marzuki Alie berucap kalau DPR tidak butuh suara rakyat jelata. DPR kata politikus dari Partai Demokrat itu hanya mau mendengar suara kaum elite.

Nah, jika janji-janji dari sebagian besar putra Indonesia yang mengaku sebagai wakil rakyat itu tidak ditepati, alias diingkari, apa yang akan kita lakukan? Perlukah ditunjuk debt collector untuk menagih janji-janji manis yang diucapkan saat kampanye tersebut. Atau melalui tulisan ini, kita harapkan para penabur janji segeralah memenuhi janji-janjinya.

Harus disadari pula bahwa janji itu hutang lho. Artinya jika sebuah janji tidak kita tepati, itu namanya sepanjang hidup, kita berada dalam posisi berhutang. Jangankan janji yang sudah terucap, janji yang masih dalam angan-angan sekalipun, sudah wajib ditepati. OK, semoga. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS