Jika Uang Jadi Mata Dagangan

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Ilustrasi

Ilustrasi

UANG adalah alat pembayaran. Tapi pada zaman modern ini atau orang menyebutnya zaman globalisasi, fungsi uang telah bergeser menjadi mata dagangan, seperti hanya migas, kelapa sawit, karet dan komoditas lainnya.

Oleh karena itu, di dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat mulai kenal dengan istilah pasar uang/finansial, pasar modal, pasar komoditas (ada yang kita kenal sebagai bentuk pasar yang konvensional, ada yang bentuk pasar komoditas berjangka/future trading).

Inilah realitasnya dan semuanya telah berjalan dan berkembang begitu rupa seiring dengan perkembangan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi. Ekonomi uang telah merasuk begitu kuat dalam kehidupan manusia dan boleh jadi bisa disebut sebagai salah satu gaya hidup manusia di abad modern.

Senang bermain-main dengan uang, pagi siang malam, asyik mempelototi perputaran dan peredaran uang melalui internet. Habis itu mereka menghitung-hitung kira-kira berapa keuntungan yang bisa diperoleh ketika seseorang ikut bermain dalam perdagangan uang dan kemudian mulai kenal istilah kapitalisasi, aksi profit taking dan istilah-istilah lain yang orang awam tidak semuanya tahu.

Di pasar uang, orang akan segera tahu berapa nilai rupiah terhadap dolar, euro, yen dan sebaliknya. Harga/nilai uang akan bergerak naik turun sesuai dengan hukum pasar, tergantung faktor supply dan demand. Bisa juga nilai sebuah mata uang naik turun karena spekulasi yang sengaja dilakukan oleh para spikulan dan tujuannya hanya satu, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Maka dari itu, janganlah heran ketika dalam waktu yang singkat nilai sebuah mata uang bisa berubah dan di pasar uang biasanya disebut dengan nilainya menguat/melemah ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lain.

Begitu besarnya sekarang ini uang berputar-putar di seluruh belahan dunia selama 24 jam tanpa henti, dalam jumlah yang sangat masif dan nilainya pasti triliunan dolar AS. Bagi yang bernasib baik, seseorang atau institusi bisa menjadi kaya mendadak.

Kekayaan atau asetnya George Shoros sudah mencapai miliaran dolar AS yang oleh Business Week pernah direlease mencapai 25 miliar dolar AS. Akibat berkembangnya ekonomi uang atau pasar uang, maka pertumbuhan ekonomi di hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia, pertumbuhannya dihela oleh kontribusi sektor finansial, termasuk investasi portofolio.

Pertumbuhan yang seperti itu tidak banyak menimbulkan efek penyerapan tenaga kerja dibandingkan jika pertumbuhan ekonomi itu dihela oleh kegiatan di sektor ekonomi produktif (pertanian, pertambangan dan industri pengolahan).
Bahkan ekomomi uang dalam prakteknya sudah seperti bermain di dunia perjudian (gambling) dan pandangan semacam ini barangkali ada benarnya juga. Pernah sebuah media merelease bahwa pertumbuhan ekonomi dunia di masa depan penghela utama adalah food, energy, hiburan, judi dan pariwisata.

Pandangan ini cukup realistik dan ada benarnya karena manusia dalam hidupnya tidak akan pernah lepas dari persoalan pangan, energi, hiburan dan kegiatan berwisata. Khusus perjudian ini pasti pro dan kontra sikap yang akan berkembang di masyarakat karena pada agama tertentu seperti Islam termasuk kegiatan yang dilarang.

Lepas dari semua realita yang ada, ekonomi uang telah berkembang begitu pesat dan hampir semua manusia dan institusi telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung di sistem ekonomi finasial, baik sebagai pelaku individu, broker maupun sebagai investor institusi.

Perkembangan ekonomi yang bergantung pada ekonomi uang, di masyarakat timbul fenoma tersendiri (meskipun masih perlu dibuktikan melalui proses penelitian) yaitu para pemilik uang dan sebagian dari masyarakat yang selama ini berusaha di sektor riil lebih tertarik memutar uangnya di pasar finansial dari pada mengembangkan usaha yang telah ditekuni sebelumnya di sektor riil.

Sekali lagi, ini hanya sekedar dugaan, tapi fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor tradable di Indonesia khususnya tidak mampu lagi tumbuh tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sektor non tradable (termasuk di dalamnya pertumbuhan sektor finasial).

Indonesia bukan Singapura dan juga bukan Hong Kong. Negeri ini masih bergelut dengan persoalan kemiskinan dan penggangguran dan yang paling bisa mengatasi problem tersebut adalah bangkitnya kegiatan ekonomi di sektor tradable dengan pertumbuhan yang rata-rata tinggi di sepanjang tahun agar gap-nya tidak terlampau besar dengan pertumbuhan sektor non tradable.

Ini tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah dengan menggunakan instrumen yang dikuasai, baik di bidang moneter, fiskal maupun administratif agar investasi di sektor riil tumbuh dengan akselerasi yang tinggi tanpa harus menafikkan pertumbuhan investasi di sektor portofolio yang selama ini berkembang melalui pasar finansial dan pasar modal.

Mudah-mudahan kita bisa berhasil mengembangkan kebijakan ekonomi nasional yang dapat menggerakkan sektor riil, sektor tradable khususnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional.***

CATEGORIES
TAGS