Jujur

Loading

Oleh : Marto

ilustrasi

ilustrasi

UMUMNYA orang tidak malu menceritakan kepada orang lain bahwa, “Saya ini tidak sabar.” “Saya ini orang tidak menerima”. “Saya belum mempunyai watak rela.” “Saya belum dapat mempunyai budi luhur.” Namun jarang, malah mungkin tidak ada, orang yang berucap kepada orang lain bahwa, “Saya ini tidak mempunyai watak jujur” atau “Saya ini sering salah/bohong.” Apa penyebabnya?

Walaupun di dalam batinnya orang itu mengakui bahwa dirinya sering tidak jujur, buruk, pembohong dan sebangsanya. Sebabnya tidak lain, karena takut tidak mendapat kepercayaan dari orang lain. Apabila demikian jelas bahwa celaka-celakanya orang itu apabila sudah tidak mendapat kepercayaan dari orang lain. Di mana saja dirinya tetap diragukan. Dianggap orang yang berbahaya.

Dalam pustaka Sasangka Jati menyebutkan: “Jujur itu arti pokoknya: menetapi janji, atau menetapi kesanggupan, baik yang sudah terlahir (diucapkan) atau masih dalam batin (niat) iya sama saja. Jadi, orang yang tidak menetapi niatnya itu berarti membohongi batinnya sendiri, sedangkan apabila niat tadi sudah terlahir (diucapkan), dan tidak ditetapi, maka kebohongannya itu disaksikan orang lain.”

Apabila janji tidak dilakukan, kesanggupan tidak ditetapi, selain disebut buruk ke dirinya sendiri, juga membuat rugi orang lain. Kebalikannya apabila semua itu dijalankan dengan dasar kejujuran dan kesungguhan, sudah tentu akan sangat besar gunanya buat dirinya sendiri, juga tidak akan membuat rugi masyarakat. Semua itu akan berjalan lancar yang berakhir dengan menyenangkan . Tidak akan ada pekerjaan yang tertunda dan bertumpuk-tumpuk, karena semua orang yang berkewajiban menjalankan bersama-sama dengan sungguh-sungguh menetapi kesanggupannya.

Selanjutnya di Sasangka Jati tadi dijelaskan: “Belajarlah atas kejujuran hatimu, karena jujur itu mendatangkan adil, sedangkan adil itu menuntun ke kemuliaan abadi. Jujur itu mendatangkan keberanian, serta ketenteraman hari, dan juga menyucikan hati, membuat tulusnya hati.”

Orang yang tidak jujur disebut juga pembohong. Kenyataannya tidak cocok dengan hatinya. Yang terlihat secara lahir seperti “sesungguhnya”, namun hatinya tidak tergerak. Orang yang memiliki kebiasaan seperti itu mempunyai perasaan waswas, khawatir apabila kebohongannya diketahui oleh orang lain. Keburukannya disaksikan orang banyak. Tanda-tandanya orang itu tidak mempunyai keberanian.

Dijelakan juga bahwa, “Yang tetap pada kebenaran, walaupun kejujuranmu tadi dapat membuat kerugianmu, dan jangan suka berbohong, meskipun kebohonganmu tadi dapat membuat keberuntunganmu. Hanya orang yang berkata jujur dan berlaku cocok dengan kenyataan, artinya berlaku benar, orang jujur itu dapat sempurna.”

Di kalangan para penjual yang belum mengerti pada keutamaan jujur, banyak yang merasa senang, apabila dapat menipu orang yang berbelanja pada dirinya. Merasa beruntung sebab mendapat keuntungan yang banyak, karena pintar menjatuhkan orang yang berbelanja padanya. Tidak mengerti bahwa kesenangan dan keberutungan itu tidak abadi, hanya sekali itu saja. Dilain waktu pelanggannya tidak akan pernah mau membeli atau dilayani olehnya, malah membuat kerugian yang besar pada dirinya sendiri.

Kejujuran dapat membuat orang yang sudah lama menjalankan bermacam-macam kejahatan berbalik terang, mau bertobat, lalu menjadi orang baik, berjalan di jalan benar, seperti certita di bawah ini.

Cerita ini terjadi kurang lebih dalam abad ketiga belas Masehi. Diceritakan ketika Syeh Abdul Qadir Jailani masih remaja, pergi meninggalkan tanah airnya, Afganistan untuk mencari ilmu dan memperluas ilmunya. Pada zaman itu tidak mudah orang mau mencari perguruan atau tempat belajar seperti zaman sekarang. Terkadang orang harus berjalan sampai beberapa hari, bahkan sampai berbulan-bulan apabila mau sampai ke tempat perguruan yang memiliki asrama atau pemondokan.

Syeh Abdul Qadir Jailani berpamitan pada ibunya: “Ibu saya mohon doa restu itu, agar keberangkatan saya mencari ilmu ke negeri orang berjalan lancar.” Ibunya berat melepas anaknya, tetapi tekad anaknya bulat mencari ilmu kebenaran di Jalan Allah. Karena kasih seorang ibu kepada anaknya, ia memberi bekal anaknya uang mas sebesar 40 dirham, untuk dipergunakan seperlunya. Ibunya berpesan, agar Syeh Abdul Qadir Jailani jangan sekali-kali berbohong, berbicaralah yang jujur.

Allah akan memberi anugerah kepada umat-Nya yang berwatak jujur. Sedang bagi mereka yang berbuat jahat/bohong akan mendapat hukuman yang setimpal. Abdul Qadir dengan hormat menjawab, “Pesan ibu akan saya camkan di dalam hati saya, dan akan saya laksanakan selama saya hidup.” Kemudian berangkatlah Syeh Qadir berjalan menyusuri langkahnya untuk mencari ilmu kebenaran di Jalan Allah.

Ketika Syeh Qadir melalui sebuah hutan yang gelap, dalam remang-remang penglihatannya ia melihat 8 orang yang akan menghalangi langkahnya. Semakin mendekat dan jelas orang-orang itu menakut-nakutinya dengan berbicara kasar, “Hei anak laki yang gagah, apa barang yang kau bawa? Cepat berikan kepada kami.”

Dengan kejujuran Syeh Qadir menjawab bahwa ia membawa 40 dirham uang emas, ibunya telah memberikannya dan dijahit di dalam baju bagian dalam. Mendengar kejujuran Syeh Qadir, para perampok itu dengan kasar berkata, “Apa kau tidak mengerti, siapa kami ini?”sambil mereka merampas uang yang ada di pinggang Syeh Qadir. Syeh Qadir pun menjawab: “Perkiraanku, kamu semua ini perampok.” Dengan keheranan para perampok itu kembali bertanya: “Kamu sudah mengerti bahwa kami perampok, mengapa kamu memberitahukan milikmu yang berharga kepada kami?”

Syeh Abdul Qadir menjawab dengan ramah dan manis: “Saudaraku, karena kalian bertanya barang apa yang kubawa, maka pertanyaanmu itu aku jawab dengan sebenarnya. Sebab ibuku berpesan bahwa selamanya aku tidak boleh berbohong. Allah tidak memperbolehkan manusia berbohong dan berbuat dosa lainnya. Oleh karena Allah Mahaadil, manusia yang berbuat dosa akan menerima balasannya sesuai perbuatannya.”

Para penjahat itu terheran-heran mendengar jawaban anak muda yang tenang, ramah dan sopan itu, dalam hidup mereka baru kali itu mereka mendengar dan menyaksikan keadaan yang membuat terbuka hati mereka dan membuat mereka insaf. Salah satu dari perampok yang paling tua amat terkesan dengan ucapan Abdul Qadir, tiba-tiba ia menyadari kesalahannya dan berucap: “Ya Allah, begitu besar dosaku, bermacam-macam dosa telah kujalani selama ini dengan berbohong, menipu, mencuri, menjarah dan membunuh orang. Apa hukuman-Mu yang akan kuterima.

Ya Allah, hamba mohon ampun.” Setelah ia berucap demikian, ia menenggok kepada teman-temannya dan berkata: “Kawan, sebaiknya kita kembalikan uang anak ini, dan meminta maaf kepadanya. Kemudian mari kita mengikuti langkah anak ini ke mana saja langkahnya. Sebab, anak ini telah menjadi perantara menyadarkan kita untuk memohon ampun kepada Allah dan menunjukkan jalan yang benar.”

Ringkas cerita para perampok itu selalu tunduk pada Syeh Qadir selama mengikuti langkahnya menuntut ilmu kebenaran di Jalan Allah. Mereka membuang semua kebiasaan buruknya dan berbalik berbuat baik kepada sesamanya.

Akhirnya tercapailah apa yang dicita-cita Syeh Abdul Qadir Jailani, memperoleh ilmu yang benar di Jalan Allah dan kemudian menjadi Sultan di Bagdad. Budi pekertinya mulia dan menjadi teladan bagi masyarakatnya. ***

CATEGORIES
TAGS