Kampanye Pileg 2014 tidak Mendidik

Loading

Laporan: Redaksi

ilustrasi

ilustrasi

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Kampanye pemilu legislatif, yang segera berakhir, tidak menampilkan program, komitmen atau isu-isu besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Yang dilontarkan isu-isu lama dan tidak fokus pada penanggulangan masalah yang dihadapi bangsa. Kampanye belum memberikan pendidikan politik bermoral kepada masyarakat.

Malah muncul saling sindir antarpengurus partai politik. Yang juga memprihatinkan, soal penggunaan produk dalam negeri dan lingkungan hidup tidak menjadi isu utama dalam kampanye, bagaikan “anak tiri”.

Demikian antara lain petikan wawancara www.tubasmedia.com secara terpisah dengan pengamat politik Fadjroel Rachman, pengamat lingkungan dari UKI Jakarta Sahat Marojahan Doloksaribu, pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing, politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) H. Ihsan Abdul Rosyid dan mantan anggota DPR/MPR, yang juga tokoh masyarakat Tasikmalaya, Djadja W.

Menurut Fadjroel Rachman, kampanye calon legislatif (caleg), yang dimulai 16 Maret dan berakhir 5 April 2014, sama sekali tidak menarik bagi para pemilih, hanya menambah kesemrawutan dengan jutaan atribut kampanye. “Saya melihat kampanye para calon legislatif tidak mendidik atau mencerdaskan, “ katanya.

Ia mengatakan, kampanye simpatik hampir tidak kelihatan. Selain itu, para caleg dan juru kampanye (jurkam) tidak mengutamakan program atau komitmen untuk bekerja keras memperbaiki masalah rakyat. Dan yang lebih parah lagi, hampir 90 persen caleg adalah wajah lama, sehingga potensi untuk perubahan makin tipis. Sebagai bukti, ia mengatakan, isu yang dilontarkan adalah isu-isu lama tanpa fokus pada upaya penyelesaian permasalahan bangsa.

“Isu yang dilontarkan hanya sebatas kemiskinan dan pendidikan, tanpa memberikan jawaban untuk mengatasi keadaan tersebut. Kalapun ada, hanya sekadar janji, tanpa komitmen,” tegasnya.

Sahat Marojahan mengatakan, produk dalam negeri dan lingkungan hidup seperti “anak tiri” di negeri ini. Tidak ada orang yang tertarik membicarakan itu dalam forum politik seperti kampanye. Tidak ada yang dapat membicarakan kedua isu itu, walaupun sepenggal atau terputus-putus. Dibutuhkan kebijakan dan kemauan untuk mendorong kehidupan warga agar lebih baik dan mencegah para pejabat bermewah-mewah.

Kasus-kasus impor terakhir, seperti beras murah dan produk pabrikasi bus, harus dihindari, karena kita mampu memprodukinya. Secara sepintas ada sesuatu di balik impor yang jauh lebih menggiurkan itu, dibanding mendorong industri dalam negeri dan memperbaiki pertanian nasional kita.

Tentang lingkungan hidup, yang sejak 1972 sesungguhnya sudah masuk dalam agenda nasional, menurut Sahat Marojahan, dalam banyak hal masih sebatas mengikuti kecenderungan global.

Padahal, dibutuhkan tidak hanya sekadar Kementerian Lingkungan Hidup untuk menyiasati masa depan bangsa agar lebih lestari, tanpa menyebut terlanjutkan (sustainable). Sekadar bersih-besih dalam arti lingkungan nyata saja, kita masih sulit. Lihat bagaimana mungkin menurunkan emisi gas buang di Jakarta kalau pajak mobil masih dikejar.

Objek Politik

Emrus Sihombing mengatakan, parpol dan caleg belum melaksanakan fungsi pendidikan politik yang bermoral. Yang muncul saling sindir. Ia menyebutkan, salah satu contoh mengenai isu kesepakatan susunan kabinet antarparpol jika menang. Ini bukti, politikus kita melakukan transaksi politik yang pragmatis.

Ia juga mengemukakan, rakyat dan kemiskinan hanya menjadi objek politik dalam kampanye. Para elite partai dan caleg lebih mengutamakan upaya memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan. Dikhawatirkan, ketika sudah menggenggam kekuasaan, mereka memperkaya diri sendidi.

Dikatakan, selama kampanye, politik uang tetap terjadi. Tak terhindarkan bermunculan “profesi” baru, seperti, penggerak massa dan calo suara. Semua itu dibayar oleh para caleg atau pengurus partai politik. Banyak warga datang ke tempat kampanye bukan karena kesadaran, tetapi karena bayaran. Tidak heran, banyak orang yang sama datang ke kampanye parpol yang berbeda.

Emrus juga mengatakan amat prihatin, karena tidak satu pun partai yang membawa isu pluralis terutama dalam bidang kepercayaan. Mereka seolah “takut” tidak mendapat dukungan suara dari masyarakat pada Pileg dan Pilpres 2014. Padahal, isu ini sangat penting bagi negara kesatuan yang berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika, sebagaimana termaktub pada Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Djadja W menilai, kampanye Pileg 2014 masih belum memunculkan ide besar untuk menyejahterkan rakyat. Yang ada kampanye model konservatif berupa bagi-bagi uang dan memunculkan figuritas. Parpol dan caleg belum melaksanakan fungsi pendidikan politik yang bermoral dan menyentuh kepentingan untuk kesejahteraan rakyat.

Dikemukakan, persoalan yang mengemuka ke publik, seperti, korupsi, kemiskinan, infrastruktur hingga penegakan hukum, luput dari perhatian para elite partai politik dan caleg. Isu-isu artifisial justru lebih dominan ketimbang isu substantif, yang menentukan lima tahun ke depan. Itu terlihat, para caleg tidak melontarkan program ekonomi kerakyatan, malah saling sindir.

Ihsan Abdul Rosyid mempertanyakan atas referensi apa rakyat menentukan sikapnya hingga memastikan bahwa calon yang dicoblos itu sudah teruji.“Di sinilah letak dilematis pergolakan ketika aspek pendidikan politik masih berkarakter transaksional. Transaksional yang saya maksud tentu saja dalam realitas konkret dan abstrak,” tandas Ihsan.

Politisi yang peduli pada dunia pendidikan itu juga sangat menyayangkan betapa rendahnya kepekaan para juru kampanye, karena secara umum tidak ada yang memanfaatkan momentum kehadiran massa itu sebagai wadah sosialisasi pembangunan yang mengerucut pada kesejahteraan rakyat.

“Secara umum para Jurkam masih terjebak pada pola-pola pencitraan, jargon euforia partai masing-masing dan semuanya janji-janji bersifat normatif saja,” katanya.

Mempermudah Jalan

Lebih lanjut Fadjroel mengatakan, berbagai cara yang dilakukan oleh caleg, seperti meninjau pasar, mengunjungi sentra produksi masyarakat, bertemu dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat, hanya untuk mempermudah jalan menuju kemenangan dengan menggunakan jasa lembaga survey dan konsultan politik.

Ditegaskan, belum kelihatan bagaimana caleg menarik simpati masyarakat agar mau memberikan dukungan. Para caleg seharusnya mampu memberikan pendidikan politik dan pencerahan menyangkut berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat, yang nantinya menjadi tugas dan tanggung jawab mereka setelah duduk di lembaga legislative.

“Saya melihat, para caleg tidak mampu memberikan jawaban terhadap pertanyaan penting yang harus dijawab, :apakah para caleg ini mengetahui apa harapan publik terhadap mereka?,” tegas Fadjroel.

Yang tidak kalah penting, menurut Fadjroel, ada muatan kampanye yang menjadikan pemilih sebagai subjek yang bersalah nanti jika salah memilih dalam pemilu. “Mereka cenderung menciptakan kebingungan terhadap kondisi dan persoalan bangsa ini,” katanya.

Ditegaskan, pada setiap kampanye hampir tidak ada pembicaraan mengenai harapan dan kepentingan rakyat ke depan selain peningkatan popularitas dan elektabilitas caleg dan partainya. Alat peraga sosialisasi yang disebar di jalan-jalan dan di depan rumah-rumah rakyat tidak menunjukkan rusaknya jalan di kampung-kampung dan tidak membicarakan sulitnya masyarakat memperoleh bantuan usaha untuk kemandirian ekonomi rakyat. (ben/hakri/ender/marto)

CATEGORIES
TAGS