Kaum Hawa Itu Jadi “Singa Betina”

Loading

Oleh:Marto Tobing

Ilustrasi

SINGA betina sangat ketat melindungi anaknya terhindar dari bahaya yang kemungkinan setiap saat akan mengancam keselamatan hidup generasi penerus sang raja hutan. Dibesarkan dengan air susu anak singa betina itu tetap saja berperilaku canda bersama indungnya. Namun begitu naluri habitat mulai mengusik, saat itu juga nalar buas pun mulai diajarkan. Ganas, kejam dan sadis, dijadikan indungnya sebagai kurikulum utama menapak kehidupan anak hingga saatnya dilepas tidak lagi berstatus di bawah pengampuan sang indung.

Bagaimana jika pola regenerasi kaum rimba itu diimplementasikan dengan fakta bahwa manusia telah menjadi serigala atas manusia (homo homini lupus)..? Sangat menakutkan..! Lalu, akan dikemanakan masa depan bangsa ini..?

Pertanyaan itu langsung dijawab Prof. Husain Haikal. Dalam bukunya berjudul “Wanita Dalam Pembinaan Karakter Bangsa”, Haikal menegaskan, bahwa peranan perempuan sangat krusial untuk membentuk karakter suatu bangsa. Jadi tanggung jawab perempuan sangat fundamental. Untuk membangun karakter bangsa pondasinya ada pada ibu dan keluarga. Para ibu memainkan peranan penting tentu tanpa mengecilkan andil seorang ayah.

Dekapan seorang ibu hampir setiap saat dirasakan anak. “Maka jiwa seorang ibu akan melekat pada anak-anaknya,” tulis Prof. Haikal. Maka suka tidak suka, regenerasi keberlangsungan intelektualitas bangsa ini harus mengacu pada filosofi Jawa yang tidak mengabaikan unsur “Bibit, Bobot dan Be’bet”.

Bacalah, seluruh media publik menyebutkan nama-nama perempuan Indonesia bisa jadi paling “unggul” di dunia kejahatan korupsi. Angelina Sondakh (Angie) mantan anggota DPR ini misalnya, harus berpisah dengan kedua anaknya yang masih Balita karena dijebloskan ke ruang sel tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi. Begitu juga Neneng Sri Wahyuni. Isteri terpidana Muhammad Nazarudin ini tak mungkin lagi bercengkrama bebas bersama anak saat bezoek di ruang sel tahanan KPK. Selama 10 tahun bersembunyi di Amerika Serikat, Sherny Kojongian buronan interpol itu akhirnya kembali ke Indonesia.

Dia juga sudah bergabung dengan biologi sejenisnya di tahanan KPK. Susul menyusul nama Wa Ode Nurhayati pun turut meramaikan semua media informasi publik atas kejahatan sejenis. Perempuan berjilbab mantan anggota Banggar DPR ini pun harus menjalani ibadah puasa ramadhan di ruang sel tahanan KPK.

Sederetan nama kaum Hawa lainnya yang sepatutnya masuk laboratorium “bibit, bobot dan be’bet” itu tercatat nama Miranda Goeltom, Melinda Dee, Mindo Rosalina Manulang, Artalyta Suryani, Nunung Nurbaeti dan Hartati Murdaya Poo. Atas permintaan KPK nama terakhir ini dicekal (cegah tangkal) pihak Imigrasi untuk tidak beperegian ke luar negeri, kendati masih berstatus sebagai saksi terkait kasus korupsi Bupati Buol.

Lalu apa yang ada di benak kita? Ya deretan nama-nama itu adalah kaum perempuan yang menjadi seorang ibu dari rahimnya lahir generasi penerus bangsa. Tanpa bicara soal gender, lalu muncul sindiran soal emansipasi. Apakah roh emansipasi itu juga senafas dengan prilaku koruptor ? Mengapa kaum perempuan itu seolah menuntut kesetaraan dengan pria-pria korup tanpa tersentuh oleh nilai-nilai kodrati ?

Bahkan lebih ekstrem lagi apakah korupsi kaum perempuan menjadi bukti adanya feminis liberal ? Mereka juga disebutkan pandora karena rupanya sangat cantik tak ubahnya dewi fortuna tetapi membuka guci yang berisi kesulitan, penderitaan dan ragam kejahatan. Korupsi dinilai super jahat karena punya daya rusak yang sangat massif.

Sekadar upaya memperkaya diri, perempuan sederetan nama tadi tak perduli efek daya rusak yang terus merambah. Dampak korupsi bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan di masyarakat hingga mengancam keberlangsungan negara. Sebab selain merusak moralitas, mangabaikan solidaritas dan mengabadikan sekaligus memarginalkan sosialitas, juga semakin memperkokoh perbedaan kelas.

Neneng tampil dengan cadar barunya, Sherny dengan kaca mata hitamnya, Miranda dengan cat rambutnya dan Anggie dengan kecerdikan senyum. Peribahasa “surga ditelapak kaki ibu” sebenarnya menjadi penguat bahwa para perempuan merupakan orang yang tangguh menegakkan moralitas. Basis pendidikan bagi anak ada pada ibu dan keluarga.

Sayangnya mereka terperangkap hedonisme dan pragmatisme. Bagaimana jadinya kalau ibu dililit dekadensi moral? Mudah-mudahan ini menjadi refleksi para perempuan karena surga berada di telapak kakinya. Demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara maka regenerasi bangsa senantiasa mengacu pada nilai-nilai sentuhan kasih sayang kaum perempuan. Dan jangan lupa persoalan “Bibit, Bobot dan Be’bet” adalah sumber cikal bakal manusia Indonesia yang unggul di segala kebaikan komunitas sosial ***

CATEGORIES
TAGS