Kebahagiaan

Loading

Oleh: SM. Darmastuti

ilustrasi

TIDAK ada seorang pun di dunia ini yang tidak mengharapkan kebahagiaan hidup. Dengan berbagai cara orang mencoba meraihnya. Kerja keras, mencari uang sebanyak mungkin, menumpuk harta, berusaha meraih pangkat dan jabatan, semua itu hanyalah sebagian dari upaya orang yang mengukur kebahagiaan dari kepuasan ragawi. Banyak orang melupakan bahwa kepuasan duniawi tidak akan pernah ada batasnya.

Seorang teman yang amat ‘karieris,’ pada suatu hari menceriterakan kekecewaannya karena anak-anaknya tidak ada seorang pun yang mau menjadi dosen dan tidak ada yang mau mengambil studi S3 untuk memperoleh gelar doktor:

“Padahal, anak-anakku itu sesungguhnya mampu lho Jeng,” katanya meyakinkan. “Tidak ada seorang pun anak-anakku yang lulus dengan angka sedang-sedang. Semuanya Cum Laude! Lha kok disuruh kuliah lanjut nggak ada yang mau. Mereka malah memilih menjadi pengusaha ecek-ecek yang memulai usahanya dengan modal seadanya. Kebangeten kan? Padahal kalau saja dia mau melamar menjadi dosen, peluang untuk sekolah lagi dengan beasiswa pasti akan dapat mereka raih …”

Teman saya nampak ‘geregeten’, sesekali saya mendengar dia menarik napas, apalagi ketika dia menceriterakana anak teman lain yang sekarang bersekolah ke luar negeri atas biaya negara. “Anak-anakku sebenarnya jauh lebih pandai daripada dia …” katanya lagi tambah ‘geregeten.’

Hari berikutya, pada suatu sore saya kedatangan Yu Ipah, tetangga belakang rumah, mengantarkan beras kencur dan gula asem pesanan saya. Yu Ipah memang jago membuat beras kencur dan gula asam. Dia amat piawai memilih gula jawa atau gula aren asli yang tanpa formalin dengan pengetahuan sederhana: gula yang dirubung semut pasti gula asli tanpa obat kimiawi. Yu Ipah juga sangat piawai membuat campuran yang pas antara tepung beras, temu-kencur dan gula jawa untuk minuman beras kencur, atau meramu asam jawa dan gula aren untuk minuman gula asam.

Tanpa obat pengawet atau pemanis buatan, dia juga selalu merebus ramuan jamunya dengan baik dan mewadahinya ke dalam botol-botol yang sudah disterilkan dengan cara mengukus botolnya seperti orang mengukus botol susu bayi. Dengan bangga dia selalu berceritera bahwa anaknya yang sekolah di SMK lah yang memberitahu dia bagaimana cara mensterilkan botol dan membuat ramuan minuman yang pas. Sore itu ternyata dia tidak hanya membawa dua botol beras kencur dan gula asem pesanan saya, melainkan juga satu ‘besek’ (wadah makanan dari anyaman bambu) berisi ‘bancakan.’

“Bu Har, ini saya syukuran bu, anak saya yang pertama sudah lulus SMK. Baru seminggu dia nganggur, dia sudah diajak kakak kelasnya bekerja di rumah sakit. Duh Gustiii, saya bersyukur sekali lho bu Har, dia berjanji akan membantu biaya sekolah adiknya ….”

“Tidak ingin melanjutkan kuliah Yu?” saya bertanya iseng-iseng.

“Woallaahhh, lha wong lulus SMK saja sudah bisa kerja kok, kenapa susah-susah sekolah lagi? Saya sudah maturnuwun pada Gusti Allah kok bu Har, anak janda ‘dodolan jamu’ kayak saya ini, bisa lulus SMK. Kalau bukan tangan Tuhan, siapa yang bisa bantu?” Kata Yu Ipah dengan mata berbinar-binar. Dunianya begitu indah. Tentu dia juga bakal membayangkan betapa gagah anak sulungnya minggu yang akan datang ketika dia berangkat bekerja memakai seragam rumah sakit, meskipun dia bekerja di dapur, bagian menu untuk pasien.

Kebahagiaan ternyata memang relatif. Bu Arinto yang geregeten karena anak-anaknya ‘cuma’ lulusan S2, dan Yu Ipah yang begitu bersyukur karena anaknya lulus SMK, hanyalah contoh kecil bahwa kebahagiaan ternyata tidak dapat diukur dari pencapaian keduniawian, melainkan rasa syukur yang tulus tanpa protes atas anugerah yang diterima.

Mungkin kita bisa mengaca kembali pada ungkapan yang menyatakan bahwa anugerah sejati dari Tuhan sebenarnya bukan barang-barang duniawi, melainkan keterdekatan kita kepada-Nya sebagai hasil upaya kita untuk selalu mendekat dan pasrah kepada-Nya dengan kepercayaan yang bulat. Dengan kata lain, keterdekatan kita dengan Tuhanlah ternyata anugerah yang sesungguhnya, karena ketika kita benar-benar telah dekat dengan-Nya, tidak bakal ada persoalan di dunia ini yang akan mengusik kebahagian kita. Rasa bahagia harus tetap kita pelihara, karena rasa itulah yang seharusnya kita miliki, utamanya ketika raga kita tidak lagi mampu kita ajak berkiprah. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS