Kebangitan Nasional ”Telah Berlalu“

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

BEBERAPA hari yang lalu, hampir semua media dan komunitas meramaikan pandangan tentang makna kebangkitan nasional dalam versi masing-masing. Yang peduli memang hanya mereka. Pemerintah dan DPR anteng-anteng saja. Kebangkitan nasional bak sebuah monumen belaka. Tahun depan ketemu lagi 20 Mei, pasti akan bertemu dengan suasana yang kurang lebih sama.

Merenung dan merenung, habis itu lewat. Mungkin mereka berpikir apalah artinya sebuah peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Sebagai presiden, atau sebagai ketua MPR, dan atau sebagai ketua DPR dan DPD, harusnya terpanggil hati nuraninya untuk menyampaikan pidato politik tentang makna Kebangktan Nasional bagi sebuah negara untuk menyongsong hari depan yang lebih baik. Tapi, nyatanya tidak ada apa-apanya. Semua lewat begitu saja, sibuk dengan mainan masing-masing, yakni asyik membuat kalkulasi politik.

Yang ada di benaknya adalah membuat proyeksi tentang kebangkitan parpol, tentang elektabilitas, dan bagaimana caranya mendapatkan duit untuk menjaga agar parpolnya tidak mengalami default dalam pemilu tahun depan. Bangsa ini butuh bangkit untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain di dunia yang telah mengalami kemajuan.

Konsep kebangkitannya belum muncul seperti apa? MPR sudah asyik sendiri dengan empat pilarnya,yang sebenarnya bukan barang baru. Kemasannya saja yang baru. Pancasila,UUD 1945,NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, dari sejak merdeka sudah ada. Mungkin karena peran dan fungsinya telah “dikebiri”, maaf, mereka sepertinya menjadi malas berpikir besar. Nama besar Majelis Permusyawaratan Rakyat kehilangan rohnya. DPR asyik sendiri dengan program legislasinya yang grand design-nya tidak jelas. Fungsi budgeting hanya dipakai sebagai bacaan.

Fungsi APBN sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan pertumbuhan kurang dipahami dengan baik oleh kalangan legislator. Implikasinya menjadi sangat serius. Salah satunya adalah ketimpangan antardaerah tetap terjadi. Celah yang lebar antara Jawa dan luar Jawa. APBN hanya terpakai untuk membiayai belanja rutin dan belanja suibsidi. Begitu pula dengan kinerja para anggota DPD, yang secara substansial tidak bisa diukur.

Pemerintah juga belum punya agenda yang jelas mengenai bagaimana menyiapkan sebuah progam komprehensif tentang kebangkitan nasional di bidang politik dan keamanan, bidang hukum, ekonomi, serta sosial dan budaya.Tugas ini hampir tidak mungkin jika dibebankan kepada rezim sekarang yang tugasnya hanya tinggal satu setengah tahun lagi.

Belum lagi, per akhir Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai efektif berjalan dan tidak dapat ditunda lagi. Seperti apa keadaan Indonesia setelah MEA berjalan, tidak ada yang memberikan gambarannya secara menyeluruh. Kalau tanggal 20 Mei lalu, negara ini anteng-anteng saja, maka sangat diharapkan sebelum KIB-II domisioner dapat diberikan pidato penjelasan pemerintah mengenai MEA, yang diliput secara langsung oleh televisi agar seluruh komponen bangsa ngeh, apa itu MEA dan implikasinya bagi Indonesia.

Indonesia ke Depan

Awal 2015 kita harapkan ada testimoni kebijakan nasional tentang Indonesia ke depan. Masa peralihan rezim ini waktunya kebetulan berdekatan dengan waktu berlakunya MEA. Presiden baru terpilih pada tahun pertama kepemimpinannya secara legal formal pada dasarnya masih akan melaksanakan progam yang sudah disiapkan oleh rezim sebelumnya, sebagaimana diamantakan oleh UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional.

Tujuannya adalah agar di satu pihak tidak terjadi kevakuman program dan di lain pihak ada keberlanjutan program, meskipun tentunya program yang sudah disiapkan tersebut bisa diubah dan disempurnakan.

Rasanya tidak ada yang akan menolak jika bangsa ini memilki desain arsitektur tentang Kebangkitan Indonesia ke depan. Bangkit untuk menjadi solid sebagai sebuah bangsa. Bangkit agar menjadi bangsa yang mampu bersaing di kawasan maupun di tingkat global, dan bangkit menjadi bangsa yang bermartabat dan beradab, yang menjunjung tinggi moralitas dan etika.

Law and order adalah pilar yang harus ditegakkan dan dijunjung tinggi sebagai tindakan nyata dalam satu koridor Indonesia sebagai negara hukum. Pertanyaannya adalah siapa yang bisa menginisiasi untuk menyusun grand design tentang Kebangkitan Nasional Indonesia setelah 105 tahun hanya kita peringati secara seremonial saja. Reformasi 1998 ternyata dinilai masih belum berhasil menempatkan negeri ini mengalami kejayaannya seperti pada zaman majapahit.

Masih karut-marut, sehingga sudah ada yang berpikir harus ada reformasi jilid II. Rasanya kita sudah tahu apa yang dihadapi oleh bangsa ini, dan kita pun sudah mengerti bahwa sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, harus berbuat sesuatu untuk kepentingan rakyat dan umat manusia di belahan dunia yang lain.

MPR yang tepat untuk mengambil prakarsa untuk menyusun grand design tentang konsep Kebangkitan Nasional Indonesia dalam konteks bernegara. Hadirkan seluruh komponen bangsa, diajak dialog terbuka saling sharing untuk penyusunan grand design tersebut.

Dimulai dari hal-hal yang bersifat filosofis, strategis sampai menukik ke hal-hal yang bersifat praktis, di segala bidang kehidupan. Bangsa ini selama 15 tahun melaksanakan reformasi sepertinya ogah-ogahan berpikir keras dan bekerja keras. Seakan larut dalam euforia kenikmatan dan kenyamanan hidup dalam demokrasi liberal. Padahal, barangkali langkahnya tidak tepat ketika kita bandingkan dengan konsep demokrasi Pancasilla yang lebih humanis sesuai dengan jati diri bangsa yang plural dari awalnya.

Kebangkitan Nasional Indonesia harus dibangun berdasarkan semangat musyawarah mufakat, karena itu MPR harus menjadi garda di depan. Semoga kita benar-benar memilki konsep Kebangkitan Nasional Indonesia yang utuh dan paripurna, semacam “Indonesia The Third Way atau kita sebut sebagai semacam “Indonesia Megatrends”. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS