Kegiatan Ekonomi Banyak Dijerat Regulasi

Loading

180213-bb1

Oleh: Fauzi Aziz

REGULASI dapat dipandang sebagai bentuk intervensi pemerintah. Dengan demikian, deregulasi dapat dipandang sebagai tindakan untuk melonggarkan intervensi pemerintah sebagai regulator. Sengaja pengantar tulisan ini dimulai dengan kalimat seperti itu karena pemahaman tentang intervensi pemerintah banyak mengalami bias.

Pembiasan ini terjadi justru banyak tidak difahami sebagian kalangan birokrasi yang sehari-hari bekerja dalam berbagai pembuatan kebijakan dan progam pembangunan serta pelayanan publik.

Konsep peran pemerintah sebagai regulator, difahami secara tidak tepat, seperti di awal tulisan ini disampaikan, regulasi pada dasarnya merupakan bentuk intervensi pemerintah. Akibat pemahaman yang kurang tepat ini, sebagai pembuat regulasi, birokrasi mengambil posisi untuk cende rung “semua” harus diatur.

Padahal belum tentu semuanya harus diatur. “Perkeliruan” tentang pemahaman konsep Intervensi Pemerintah awalnya lahir dari situ. Ketika regulasi itu berada dalam ranah ekonomi, ternyata sebagian kegiatan ekonomi menjadi “terhambat” oleh banyaknya regulasi.

Akibatnya, pemerintah harus melakukan tindakan relaksasi melalui deregulasi ekono mi. Jadi, akibat regulasi yang dipandang sebagai bagian dari bentuk intervensi pemerintah “tanpa batas”, kegiatan ekonomi di dalam negeri menjadi banyak mengalami sumbatan dan sangat serba prosedural.

Ini tentu tidak sehat. Pemerintah sebagai regulator adalah benar, tetapi bila hal itu serta merta dianggap sebagai keseluruhan bentuk intervensi bisa sepenuhnya tepat, bisa pula hanya sebagian tepat dan boleh jadi sama sekali tidak tepat.

Tidak sepenuhnya tepat dalam ekonomi, karena ekonomi kegiatannya lebih banyak ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar. Dalam konteks dipandang tepat, pemerintah harus melakukan intervensi merupakan elemen penting dalam sistem negara kesejahteraan. Atau bisa difahami sebagai perangkat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Upaya ini dilakukan karena sistem yang berbasis pada kekuatan bekerjanya mekanisme pasar tidak bisa melakukan fungsi redistributif. Dalam hal kondisi demikian, negara wajib melakukan intervensi menjalankan fungsi redistribrutif melalui seperangkat kebijakan sosial yang ditujukan kepada kelompok-kelompok masyarakat kurang beruntung.

Di Indonesia, tanggungjawab sosial negara diatur dalam pasal 34 UUD 1945. Ini sejatinya memberikan indikasi bahwa Indonesia pada dasarnya telah menjalankan sistem negara kesejahteraan (walfare state system). Dalam sistem ekonomi, dipelopori oleh Jhon Maynard Keynes, menyampaikan pandangannya bahwa mekanisme pasar tidak sepenuhnya mampu bekerja, baik pada ekonomi pasar bebas maupun ekonomi terencana.

Karena itu, Keynes menganjurkan suatu peran positif untuk dimainkan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi kesengseraan yang diakibatkan siklus bisnis melalui pengelolaan yang cekatan terhadap pasokan uang dan kebijakan anggaran.

Platform ini yang sekarang dijalankan hampir semua negara di dunia saat ini, termasuk Indonesia. Para ekonom yang bekerja di pemerintah sangat memahami tentang makna intervensi pemerintah dalam konteks kebijakan ekonomi.

Namun di birokrasi pemerintah, tidak semua faham tentang peran intervensi pemerintah. Mereka lebih bisa memahami konsep administrasi negara daripada memahami konsep tentang ekonomi dalam konteks pembuat kebijakan ekonomi, sehingga produk kebijakan ekonomi sama dan sebangun dengan pengaturan/regulasi.

Kebijakan ekonomi dalam konteks administrasi negara dipandang sebagai konsep “pengaturan”.

Kalau dalam ekonomi, pakemnya jelas, yakni intervensi pemerintah diperlukan manakala pasar dinilai gagal. Dan sebagai tindakan korektifnya pemerintah harus hadir mengambil tindakan yang tepat. Jika kegagalan sudah terkoreksi, intervensi pemerintah harus segera diakhiri. Dalam hal lain seiring dengan siklus bisnis atau siklus ekonomi, maka jika ekonomi sedang lesu, pemerintah harus turun tangan dengan melonggarkan kebijakan fiskal.

Ketika siklusnya sudah pulih, tindakan campur tangan pemerintah segera dikurangi. Celakanya ketika pelonggaran fiskal dilakukan, regulasi lain yang terkait tidak ikut dilonggarkan seperti yang terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Regulasi pengadaan barang dan jasa justru dibuat sangat ketat, sehingga kebijakan pelonggaran fiskal menjadi kehilangan momentumnya akibat ada proses administrasi negara yang bersifat regulated, prosedural dan kaku.

Inilah mengapa progam penyesuaian struktural dalam aspek kelembagaan disarankan dilaksanakan. Hal ini bisa dimengerti karena jika kegiatan ekonomi banyak dijerat regulasi, pasti geraknya lambat. Dinamika ekonomi tersandera oleh regulasi.(penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

 

Berita Terkait