Kembali ke Swasembada Bawang

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

Enderson Tambunan

HARGA bawang merah, apalagi bawang putih, yang melonjak tajam beberapa hari lalu, menjadi berita “hot”. Berita dan ulasan mengenai kisah harga bawang ini sempat “menguasai” media massa. Padahal, sebelumnya, jarang dibicarakan.

Banyak orang, baik itu pedagang maupun konsumen, terheran-heran menghadapi kenyataan itu. Misalnya, harga sebungkus bawang putih yang semula Rp 15.000 menjadi Rp 60.000. Itu dinilai naik tajam, yang membuat konsumen mengeluh.

“Harga bawang sebanyak ini sebelumnya Rp 15.000, sekarang Rp 60.000,” ucap seorang pedagang sayur keliling di kawasan Jatiwaringin, Bekasi, pekan lalu, sambil menunjukkan sebungkus bawang putih. Belakangan, harga mulai turun, meskipun belum menyentuh harga semula.

Dengan tersiarnya secara luas kenaikan harga bawang itu, terungkap pula kenyataan, pasokan dari dalam negeri, terutama mata dagangan bawang putih, hanya sekitar 5-10 persen dari kebutuhan. Selebihnya, dengan persentase yang jauh lebih besar, dipasok dari mancanegara atau impor. Maka, resep jitu untuk menurunkan harga tinggi itu, ya, memperbanyak impor, sekalipun itu pahit bagi produsen di dalam negeri.

Kisah melambungnya harga bawang, terutama bawang putih, menambah deretan masalah rentannya pasokan hasil pertanian di negara agraris ini. Sebelumnya, tahun lalu melonjak harga cabai, diikuti dengan harga kedelai. Resep untuk memecahkan masalah harga tersebut kembali pada peningkatan jumlah impor. Sekali lagi, masalah utama, pasokan dari dalam negeri tidak mencukupi, maka jalan terbaik menghentikan jeritan konsumen, membuka keran impor sesuai kebutuhan.

Jadi pertanyaan, mengapa pasokan dalam negeri (hasil panen petani) begitu kecil? Apakah tanah di Nusantara ini tidak cocok untuk pengembangan bawang putih? Padahal, kita sudah lama menyebutkan tanah kita subur, sehingga sebagian besar penduduk mengandalkan mata pencaharian pada pertanian. Mengapa bisa pasokan bawang putih dari dalam negeri begitu kecil? Apa gerangan yang terjadi?

Pernah Swasembada

Tulisan ini tidak akan menyinggung untung-rugi impor beserta permasalahannya, tapi hanya menyangkut upaya meningkatkan produk dalam negeri. Terkait dengan itu, kita kutip pernyataan anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudohusodo, baru-baru ini, yang meminta Kementerian Pertanian tidak patah arang dalam meningkatkan produksi bawang putih.

Salah satu yang menarik dari pernyataan mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu adalah Indonesia pernah swasembada bawang. Katanya, dahulu beberapa daerah di Indonesia terkenal sebagai penghasil bawang putih. Salah satu daerah yang menjadi sentra produksi bawang putih adalah Batu, Malang, Provinsi Jawa Timur.

Terkait dengan upaya memenuhi kebutuhan bawang putih nasional, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Hasanuddin Ibrahim, mengatakan, Indonesia sulit bergantung pada pasokan dalam negeri. Mengapa demikian? Menurut Hasanuddin, seperti diberitakan media massa, jumlah petani yang menanam bawang putih makin berkurang.

Ia juga mengatakan, bawang putih harus ditanam pada kondisi cuaca tertentu (bergantung pada musim) agar hasilnya bagus. Tanaman ini harus melewati musim salju dengan suhu ekstrem supaya bisa berproduksi secara maksimal. Bawang putih bisa diproduksi di Indonesia asalkan ditanam di ketinggian 1.000 mdpl (meter di atas permukaan laut).

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Indonesia pernah mencapai swasembada bawang putih, karena sebelum 1998, luas lahan komoditas ini mencapai 250.000 hektare. Saat ini, lahan yang tersisa hanyalah 25.000 hektare.

Hasanuddin menyatakan, gairah menanam bawang putih mulai turun sejak 1998. Pada saat itu, keran impor bawang putih dibuka, sehingga petani kesulitan bersaing.

Nah, berdasarkan data dan fakta itu, sesungguhnya bukan tidak mungkin kita kembali ke suasana swasembada bawang putih. Kisah indah seperti itu sudah pernah dialami, tinggal sekarang, menggairahkan para petani untuk memerluas lahan tanaman. Ya, lahan yang cocok untuk bawang putih.

Dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan insentif, baik dalam bentuk biaya pengolahan, perawatan tanaman, serta pemasaran pascapanen, agar gairah bertani “meledak”. Dorongan lainnya, dalam bentuk pelibatan pakar pertanian untuk menemukan lahan yang cocok. Negara kita punya banyak pakar, lulusan perguruan tinggi, yang dapat membantu petani meningkatkan produksi.

Produksi para petani itu diutamakan untuk memenuhi pasokan dalam negeri. Bila masih surplus, ya diekspor, seperti yang dilakukan oleh negara lain. Maka pada akhirnya nanti, pemasaran bawang ini pun akan melibatkan pemerintah, baik itu di tataran daerah maupun pusat.

Lebih elok, kita mengembangkan pertanian, terutama komoditas yang dibutuhkan masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari, seperti sayur-mayur, buah-buahan, dan umbi-umbian. Manfaatnya banyak, baik itu untuk bahan pangan, obat-obatan tradisional, maupun alat kecantikan dan wewangian. Dengan demikian akan dapat dicegah keterkejutan akan melambungnya harga hasil bumi. Jangan sampai singkong pun harus kita impor. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS