Ketahanan Energi Listrik untuk Daya Saing Bangsa

Loading

Oleh: Efendy Tambunan

ilustrasi

DAYA tahan hidup suatu bangsa diukur dari daya saingnya. Dalam Global Competitiveness Index (CGI) tahun 2013-2014, Indonesia berada pada peringkat 38 dari 148 negara. Lemahnya daya saing Indonesia bersumber dari buruknya infrastruktur energi dan transportasi.

Kalimantan dan Sumatera mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ekonomi selalu diikuti dengan meningkatnya permintaan energi listrik. Permintaan energi di Kalimantan dan Sumatera tidak diimbangi dengan pertumbuhannya. Alhasil, krisis energi listrik di Sumatera dan Kalimantan parah.

Kalimantan sebagai lumbung energi malah kekurangan energi listrik. Pemerintah dengan model kerja sama pemerintah-swasta sanggup membangun PLTU batubara mulut tambang dan PLTU gas dalam skala ratusan hingga ribuan megawatt, tetapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi.

Berdasarkan survei penulis di Kota Balikpapan, toko-toko di Balikapapan selalu dilengkapi dengan genset. Karena listrik sering padam, genset sering digunakan sebagai sumber energi alternatif. Pemakaian genset menambah biaya operasional usaha.

Pemerintah sudah berupaya keras membangun PLTU batubara dengan model kerja sama pemerintah-swasta berskala hingga puluhan megawatt tetapi pertumbuhan produksi listrik kalah cepat dibanding pertumbuhan permintaan listrik. Contoh yang paling aktual adalah upaya Pemkab Kutai Timur hendak membangun PLTU batubara melalui Perusda Kutai Timur Energi. Dana pembangunan pembangkit bersumber dari sebagian divestasi 5% saham PT. KPC. Tetapi, pembangunan PLTU mulut tambang tersebut terkatung katung. Sangatta sebagai ibu kota Kabupaten Kutai Timur pun mengalami krisis listrik.

Setiap investor yang membangun hotel di kota Sangatta harus menyediakan genset sendiri untuk menjalankan operasional harian hotel. Jika menggunakan genset sendiri, biaya per kWh sekitar Rp 3.000, padahal biaya per kWh dari PLN masih disekitar Rp 2.000.

Krisis yang sama juga terjadi di wilayah Sumatera. Banyak kota di Pulau Sumatera mengalami krisis listrik. Kota Medan dan sekitarnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat. Banyak industri baru bermunculan di sekitar pinggiran Kota Medan dan Belawan. Permintaan akan listrik yang tinggi belum bisa dipenuhi PLN Regional Sumatera.

Energi Pendukung

Krisis ini perlu diatasi segera dengan cara-cara yang tidak biasa. Keterbatasan persediaan listrik menyebabkan investor enggan berinvestasi. Dampaknya, lapangan kerja tidak tercipta , akibatnya pengangguran meningkat.
Pembangunan PLTU di Kalimantan dan Sumatera harus diarahkan berdasarkan ketersediaan sumber energi pendukung. PLTU di Kalimantan lebih tepat berbasis batubara dan gas dan di Sumatera berbasis panas bumi dan tenaga air,kecuali Sumsel berbasis batubara dan gas.

Pembangunan PLTU panas bumi di Sumatera terbentur berbagai kendala, antara lain, izin konversi status lahan hutan lindung dari Kementerian Kehutanan untuk lokasi PLTU Panas Bumi. Kendala yang tak kalah peliknya adalah mahalnya biaya pembebasan lahan dari penduduk lokal untuk pembangunan tower transmisi listrik.

Contoh yang paling aktual adalah pembangunan PLTP Sarulla 3 x 110 MW di Sumatera Utara. Proyek ini sempat terhenti selama 16 tahun, sejak kriris ekonomi 1998, tetapi tahun ini akan dimulai pembangunannya. Diharapkan proyek ini akan menghemat 1 juta dolar AS per hari dan mengurangi emisi CO2 sebesar 1,5 juta ton per tahun.

Selain geothermal dan air, cangkang sawit dari limbah pabrik CPO dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan pembangkit listrik. Wilayah Provinsi Riau memiliki perkebunan sawit yang sangat luas. Menurut Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI), PLTU berbasis limbah pabrik CPO di Riau bisa mencukupi kebutuhan listrik seluruh wilayah Riau dan saat ini sedang dalam tahaf uji coba.

Energi listrik adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi, karena itu krisis listrik harus segera diatasi. Pemerintah terpilih nanti harus melakukan berbagai terobosan, antara lain, mempermudah pengurusan izin lokasi PLTU Panas Bumi di hutan lindung, membuat kebijakan fiskal untuk menarik investor membangun PLTU, dan membeli energi listrik dari pembangkit listrik swasta dengan harga per kWh yang relatif baik. ***

Penulis, Dosen Teknik Sipil UKI dan Pendiri Toba Borneo Institute

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS