Site icon TubasMedia.com

Ketergantungan Birokrasi Terhadap Mesin Politik di Parlemen Makin Kuat

Loading

birokrasi

Oleh: Fauzi Aziz

BIROKRASI adalah entitas besar di negeri ini sebagai salah satu komponen penting sebagai pelayan masyarakat dan penggerak pembangunan. Zaman Orba, birokrasi menjadi mesin politik Golkar. Di zaman reformasi yang menjadi mesin politiknya banyak partai meskipun arahannya harus bersifat netral. Profesi menjadi mesin birokrasi di pemerintah saat sekarang “dipaksa” harus “berpolitik”, paling tidak harus bisa membangun relasi politik dengan DPR/DPRD yang notabene anggotanya terdiri dari banyak partai.

Relasi yang terbentuk tidak bersifat institusional, tetapi lebih cenderung bersifat individu. Apalagi jika menterinya dari parpol, tahu deh repotnya bukan main. Relasi yang terjadi bisa berlangsung dari top level sampai staf, berteman baik dengan anggota parlemen. Hubungan pertemanan sah-sah saja.

Tidak aturan yang melarangnya dalam hal hubungan antara tiap individu di lingkungan birokrasi dengan individu-individu sebagai anggota parlemen. Apalagi pemerintah dan parlemen secara institusional adalah mitra kerja. Namun fakta berbicara lain ketika politik masuk ke mesin birokrasi. Yang pasti, netralitas birokrasi “luntur” karena ada keperluan “pribadi” dari masing-masing pihak dan jarang datangnya sepihak saja.

Dengan fenomena ini, oknum-oknum di birokrasi yang rajin membangun relasi secara pribadi dengan oknum di parlemen, loyalitasnya pasti bersifat ganda. Dua-duanya diperlukan yang bersangkutan, baik dalam rangka kepentingan karirnya maupun untuk kepentingan lain yang bersifat personal.

Situasi yang terbentuk di lapangan, sang birokrat fokus kerjanya menjadi terpecah karena harus melayani dua bos atau bisa lebih karena relasinya di DPR biasanya tidak hanya satu. Dalam setahun periode anggaran, hampir separoh waktunya habis terpakai “melayani kebutuhan kerja dengan beberapa anggota parlemen dari sejak merencanakan anggaran sampai tahap pelaksanaan anggaran.

Belum lagi ketika ada APBN-P, intensitas bertemunya bisa semakin inten. Kerja birokasi akhirnya seperti kehabisan waktu ketika harus melaksanakan tugas pokoknya yang utama, baik sebagai regulatator dan fasilitator yang melayani kebutuhan masyarakat.

Akibatnya banyak pekerjaan di kantor dikerjakan oleh pihak ketiga, yang harusnya bisa dikerjakan secara swakelola. Padahal kondisi birokrasi saat ini kemampuan profesionalnya jauh lebih baik karena rata-rata tingkat pendidikannya baik dan lulusan dari perguruan tinggi terbaik di dalam negeri maupun dari luar negeri.

Waktu mereka banyak terpakai untuk membicarakan progam dan anggaran dengan pihak parlemen dan oknum di parlemen demi kelancaran pelaksanaan tugas. Akibatnya kapasitasnya untuk melaksanakan eksekusi progam dan anggaran menjadi terbatas sehingga harus mengundang pihak ketiga sebagai pelaksana berbagai kegiatan.

Pihak ketiganya makin pintar karena banyak mengetahui informasi tentang pekerjaan yang ditangani instansi bersangkutan. Birokrasinya hanya sibuk bekerja menyelesaikan administrasi anggaran dari banyak kegiatan yang harus ditangani setiap tahun. Belum lagi bolak-balik dipanggil Bappenas dan Kementrian Keuangan membahas masalah yang sama.

Apa yang terjadi dengan fenomena ini. Pertama, output kerja birokrasi kualitasnya tidak memadai karena dikejar waktu. Banyak kegiatan yang output-nya tidak terukur sehingga sering dipandang sebagai kegiatan yang bersifat business as usual. Anggaran terpakai, tapi hasilnya tidak optimal sehingga pemborosan penggunaan anggaran tidak bisa dielakkan.

Padahal sebagian anggaran dibiayai dari utang. Kedua, temuan BPK atau dari aparat pengawas internal tiap tahun bertaburan. Ada yang sifatnya administratif sampai bersifat substantif sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ini kan aneh kok setiap tahun tidak ada insansi pemerintah yang bebas temuan.

Padahal prosedur kerjanya tidak berubah. Ini pertanda sistem pengendalian internal tidak jalan. Kedekatan sistem politik dengan sistem birokrasi memang tidak terelakkan berlangsung dalam intensitas yang tinggi akibat fungsi parlemen di bidang anggaran sangat powerfull. Akibatnya tingkat ketergantungan birokrasi terhadap mesin politik di parlemen makin kuat.

Sepanjang bersifat institusional, hubungan antara birokrasi di K/L dengan birokrasi politik di parlemen memang sebuah keharusan dan ini diatur melalui satu mekanisme yang diatur dalam peraturan perundangan. Yang tidak ada aturannya justru dalam hubungan yang bersifat personal.

Ini berlangsung bebas dan diantara mereka bisa saling mengambil manfaat sesuai kepentingan masing-masing. Political appointy menjadi menggurita, tumbuh subur di dalam sistem birokrasi pemerintah. Hal ini dilegalkan dimana menteri diperbolehkan mengangkat staf khusus yang personilnya berasal dari orang partai.

Faktanya sudah seperti itu dan dampaknya memang menjadi tidak sehat manakala menteri dan jajarannya melaksanakan tupoksi K/L-nya masing-masing yang beban tugasnya makin berat melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan. Melaksanakan anggaran berbasis kinerja makin sulit diterapkan akibat fokus kegiatan terpecah-pecah dalam banyak kegiatan.

Satu progam bisa dilaksanakan dalam banyak kegiatan akibat nilai anggarannya diperbesar. Anggaran menjadi besar bukan karena progamnya yang prioritas tinggi berskala nasional, tetapi karena disebabkan adanya titipan kegiatan oknum anggota DPR untuk membantu dapilnya masing- masing.

Memangkas jalur hubungan yang bersifat personal hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu, yang perlu ditata ulang adalah sistem penganggaran di setiap K/L. Disarankan agar sistem anggaran dipisahkan saja seperti semula, yakni ada anggaran rutin dan anggaran pembangunan.

Seperti di perusahaan kalau tidak ada rencana investasi baru, manajemen tidak akan menyusun anggaran belanja modal (capex). Di K/L sebaiknya diterapkan dengan pola yang sama. Dengan sistem single budget,banyak kegiatan yang business as usual bertaburan dalam satu atau beberapa kegiatan dalam setiap progam. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

Exit mobile version