Kisah Sekilas High Cost Economy

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

INDUSTRI manufaktur tidak bisa tumbuh tinggi karena high cost economy. Daya saing internasional rendah karena high cost economy. Investasi menjadi relatif mahal juga karena high cost economy. Beternak sapi high cost economy, menikah juga, high cost economy. Makanya banyak yang melakukan nikah sembunyi-sembunyi atau nikah siri.

Inti masalahnya, high cost economy yang sekaligus merupakan ganjalan utama dalam setiap proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia. Masalah upah minimum provinsi (UMP) bukan soal besar. Menjadi ramai dan seakan-akan menjadi masalah besar, karena memang diramaikan. Yang tidak berkepentingan pun ikut nimbrung. Siapa mereka, masyarakat sudah mafhum adanya.

High cost economy bukan isu baru, itu barang lama, tapi penyakitnya laten. Semua penyebabnya sudah diketahui dan sudah dibahas. Sudah tak terhitung berapa kali didiskusikan. Dan kalau ini dibiarkan, serta dampaknya seperti apa, para pihak yang terkait juga sudah tahu, yakni mengganggu jalannya roda pembangunan ekonomi. Ekonomi tetap bisa tumbuh dengan ongkos/biaya input yang relatif mahal. Semua menjadi boros dan relatif mahal pada sisi input-proses-dan output. Rata-rata terjadi di setiap lini dalam satu mata rantai proses.

Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) biang kerok utama dan infrastruktur buruk biang kerok kedua. Ketidakpastian hukum biang kerok ketiga, pelayanan publik yang buruk biang kerok keempat. Kemudian, cost of money dan cost of fund biang kerok yang kelima. Pungli adalah biang kerok keenam (kelas recehan, tapi rata). Biang kerok pertama sampai keenam hampir sebagian besar menjadi tanggung jawab penyelenggara negara pada unsur eksekutif, legislatif, yudikatif dan otoritas moneter menyelesaikannya.

Mudah menyelesaikannya. Hanya satu yang menjadi pareto-nya, “berantas KKN”, yang lain pasti ikut beres. Coba kita ambil satu atau dua contoh, yakni penanganan infrastruktur yang syarat dengan KKN. Ketidakpastian hukum juga terjadi karena ada unsur KKN-nya. Semuanya hampir bisa diduga, pada keenam biang kerok tersebut di atas terjadi KKN. Jadi pareto faktor high cost economy di negeri ini adalah “KKN”.

Aksi profit taking terjadi pada keenam biang kerok penyebab high cost economy. Kelasnya dari yang recehan sampai kalkulator tidak bisa lagi mengeluarkan angka pada digit lebih besar dari 12. Pada awal Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II isu mengatasi bottleneck gencar disuarakan pemerintah dengan progam debottlenecking. Hasilnya, kita tidak tahu, karena dendang high cost economy nyatanya terus merdu, mengalun dari NAD sampai Papua.

Inilah kisah sekilas high cost economy. Mau diberesin atau mau dibiarkan tetap menjadi endemik, semua bergantung pada “dokter”-nya yang bekerja di jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika high cost economy bisa diberesin, maka UMP pasti akan relatif ringan dipikul oleh para pengusaha. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS