Kita Masih Asyik Berebut Kekuasaan

Loading

matatelinga_DPR-Berantam

Oleh: Fauzi Aziz
KITA adalah bangsa Indonesia yang mempunyai jati diri dan harga diri dalam pergaulan internasional. Kita harus bisa berbuat banyak untuk kepentingan dunia karena hakekatnya kita mempunyai hak yang sama untuk memuliakan dunia demi kemanusiaan dan keadilan. Kita adalah bangsa yang bermartabat dan beradab, sehingga pantang menggadaikan jati diri dan harga diri untuk kepentingan sesaat.

Kita di dunia harus hadir dengan kekuatan yang teruji secara politik,ekonomi dan budaya. Jika kita lemah maka kita akan “terjajah” dalam tiga hal itu. Oleh sebab itu sebagai pemangku kepentingan yang ikut bertanggung jawab (responsibility stake holders) atas fenomena politik, ekonomi dan budaya, kita harus menjadi bangsa yang kompeten.

Pemerintahnya kompeten dan kredibel.Masyarakat bisnisnya kompeten dan pula masyarakat madaninya harus menjadi semakin kompeten. Cara berfikir ini yang harus ada pada kita. Jika tidak, maka hampir pasti kita akan kalah. Secara politik kalah, secara ekonomi kalah dan secara budaya kita juga kalah.

Kekalahan demi kekalahan ini tentu tidak kita harapkan karena kita ingin menjadi champion. Di dunia ini kita hanya berhadapan dengan dua kondisi yakni menjadi pemenang atau menjadi pecundang. Pilihan kita tentu tidak ingin menjadi pecundang karena kita akan merugi. Kerugian ini terjadi akibat kita tidak kompeten karena gagal melakukan pembelajaran.

Oleh sebab itu, kita dihadapkan pada dua kondisi lagi dalam perspektif lain yakni menjadi pembelajar atau pemalas. Lag-lagi kalau kita menjadi pemalas, kerugian akan menimpa kita untuk yang kesekian kalinya. Pada perjalanan waktu, apakah kita sudah ada tanda-tanda menjadi pembelajar yang ulet.

Semua berpulang pada kita sendiri bagaimana kita harus menentukan berbagai pilihan yang kondisinya secara head to head dihadapkan pada pilihan menjadi pemenang atau pecundang. Konsekwensinyapun kita sudah tahu untung jika kita menjadi pemenang. Atau kita rugi karena menjadi pecundang.

Kita sudah lama hadir dalam hubungan antar bangsa dan negara di dunia sejak merdeka penuh 17 Agustus 1945. Tujuh puluh tahun kemerdekaan sudah berlalu. Kita sudah hidup di alam demokrasi, hak-hak kebebasan individu dijamin, tetapi kita belum berhasil menjadi kuat dan konsolidatif karena kita terjebak menikmati kebebasan.

Ada indikasi tidak solid dan kuat secara politik, ekonomi dan budaya karena otak kita sudah keburu dicuci oleh alam pikir demokratis yang kita impor dari barat dalam kondisi apa adanya, yakni 100% liberal. Kita dalam posisi “terjepit” oleh fenomena kita sendiri, yakni menjadi bangsa yang sedang “mabuk” menikmati kebebasan.

Digitalisasi sudah masuk kedesa-desa dan anak-anak desa semakin lebih mengenal mbah goegle ketimbang berteman dan bermain dengan teman sepermainan. Bahkan anak-anak di desa sudah lupa memanggil orang tuanya dengan panggilan emak dan bapak. Mereka mulai ikut-ikutan menggunakan kalimat panggilan bokap dan nyokab seperti anak-anak kota memanggil orang tuanya.

Kita dengan dunia sudah menyatu. Namun kita di dalam negeri belum bisa bersatu.Kita sudah menyatu dengan dunia, tetapi kita seperti belum solid menghadapi tantangan-tantangan baru dan peluang- peluang baru karena kita disibukkan dengan urusan kekuasaan. Padahal gangguan dan ancaman juga datang hilir mudik karena kita melihat fenomena yang bernilai gangguan dan ancaman memang ada dan dalam beberapa hal sangat kasat mata.

Narkoba, seks bebas adalah dua contoh betapa negeri ini mendapatkan ancaman serius. Merdeka, berdaulat, tetapi menghadapi ancaman dan gangguan yang bisa “merampas” kemerdekaan karena kita tidak kompeten, tidak menjadi pembelajar yang ulet dan asyik berebut kekuasaan. Saatnya konsolidasi internal perlu kita lakukan agar peran sumber daya nasional menjadi maksimal untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga kedaulatan. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi)

CATEGORIES
TAGS