Koalisi Rakyat Sebuah Kemenangan Demokrasi

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

HASIL sementara Pilgub DKI Jakarta berdasarkan sistem perhitungan cepat telah menempatkan pasangan Jokowi-Ahok mengungguli pasangan incumbent Foke-Nara. Tentu kemenangan definitif kita masih harus menunggu hasil perhitungan resmi dari KPUD DKI. Selamat untuk kemenangan demokrasi dan selamat atas kemenangan sementara Jokowi-Ahok.

Keduanya secara administratif politis hanya didukung oleh dua parpol, yakni PDIP dan Gerindra. Sedangkan Foke-Nara didukung Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, Hanura dan PKB. Pendek kata, semuanya anggota Setgab para partai pendukung pemerintah kabinetnya SBY-Budiono mendukung Foke-Nara.

Apa mau dikata, realitasnya seperti itu. Rakyat Jakarta sudah sangat cerdas, bisa memilah dan memilih siapa yang pantas memimpin DKI Jakarta. Kedaulatan rakyat sebagai esensi demokrasi secara original muncul di DKI. Money politic nyaris tidak bermakna apa-apa di pilgub kali ini.

Tong Kosong

Kedaulatan partai pun sepertinya tidak ada sama sekali kekuatannya meski pun tujuh parpol ada di belakang pasangan Foke-Nara. Ini suatu pertanda bahwa telah terjadi degradasi kepercayaan secara masif dari rakyat kepada parpol yang ada di negeri ini. Suara para ketumnya bak tong kosong berbunyi nyaring, sepertinya tidak ada lagi yang menggubrisnya karena rakyat sudah terlalu lelah dan muak mendengarkan pidato mereka.

Realitas ini telah memberikan suatu gambaran bahwa kekuatan rakyat sudah makin nyata sebagai energi positif untuk melakukan perubahan. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan sekaligus pemegang saham utama dan mayoritas di negeri ini, telah memiliki kekuatan riil untuk menilai, memilah dan memilih para calon CEO-nya di pemerintah, baik pusat/daerah dan juga kepada para calon komisarisnya yang duduk di lembaga legislatif.

Fakta lain setelah satu dasawarsa reformasi, parpol dimabuk kekuasaan yang begitu dahsyat sampai abai terhadap mandat yang mereka terima dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan sekaligus sebagai pemegang saham utama di negeri ini. Para CEO dan para komisarisnya asyik sendiri melakukan aksi profit taking tanpa pernah memikirkan hak deviden yang pantas dan layak dinikmati rakyat sebagai pemegang saham mayoritas.

Akibatnya mudah sekali ditebak bahwa akhirnya terjadi dis-trust. Sayangnya, meskipun rakyat adalah pemegang kedaulatan, tidak bisa serta merta bisa mengganti para CEO dan para komisarisnya yang tidak bekerja dengan baik karena sistem politik yang dianut di negeri ini tidak memungkinkan rakyat dapat melakukan penggantian antar waktu.

Yang bisa mengganti hanya parpol bersangkutan. Dengan pengalaman Pilgub DKI Jakarta 20 September 2012, memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi membangun pilar demokrasi ke depan. Kualitas demokrasi politik harus makin membaik ke depannya dan ini harus menjadi acuan utama. Rakyat pemegang kedaulatan harus dibuatkan saluran komunikasi formal diatur dalam Undang-undang agar bisa menyampaikan aspirasinya dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ke depan, setiap calon presiden/wakil presiden, calon anggota legislatif, sebaiknya harus dilakukan melalui mekanisme konvensi yang diorganisir oleh partai dan melibatkan rakyat.

Hal yang seperti ini juga harus diatur dalam UU. Sistem kepartaian juga sudah waktunya lebih disederhanakan, tidak multipartai seperti sekarang. Negeri ini perlu dibangun dengan sistem dan struktur politik yang kuat dan tidak membuat fragmentasi politik dibiarkan terjadi seperti saat ini.

Sudahlah cukup satu dasawarsa lebih kita dihadapkan pada proses pembelajaran membangun demokrasi di Indonesia. Tugas ke depan adalah menguatkan sistem demokrasi yang sudah dibangun. Pendek kata, yang belum baik diperbaiki dan disempurnakan dan yang sudah baik kita rawat.

Kedewasaan Berpolitik

Masanya kita menuju ke kedewasaan berpolitik yang proses dan mekanismenya harus sesuai dengan falsafah Pancasila. Khusus untuk membangun Jakarta, rasanya tidak bijaksana kalau sepenuhnya hal ini dibebankan kepada gubernur dan wakilnya karena kita semua tahu beban masalah yang dihadapi Jakarta sangat kompleks.

Anggota DPRD harus mendukung penuh kerja gubernur dan wagub yang baru. Sentimen politik tenggelamkan dalam-dalam agar proses pembangunan DKI Jakarta dapat berjalan dengan baik. Libatkan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Para birokrat di segala lini yang berkantor di blok G atau di wilayah pusat, timur, barat, utara, selatan dan Kepulauan Seribu, harus semuanya menjadi pendukung yang profesional untuk menjadikan DKI Jakarta yang lebih baik.

Saling mengerti dan saling mendukung untuk mengatasi problem Jakarta yang sangat kompleks itu sangat diperlukan. Semangat ke-Indonesiaannya tidak bisa dikorbankan hanya karena gagal membangun DKI Jakarta. Kalau itu yang terjadi, berarti mengorbankan keterwakilan Indonesia di Jakarta.

Sukses Pilgub di DKI semoga saja menjadi sukses pilgub di propinsi lain. Idealnya, postur dan konfigurasi tata kota Jakarta harusnya seperti Singapura. Kota yang nyaman, asri, lestari, bersih dan aman sebagai ibukota negara. Inilah tantangan yang harus dijawab.

Strong leadership sangat dibutuhkan. Tata kelola yang baik wajib dijalankan. Law and order wajib ditegakkan. Rakyat Jakarta di segala lapisan harus memahami kebutuhan daerahnya kalau kondisi seperti yang dijelaskan di depan bisa diwujudkan.

Selamat mas Jokowi dan bang Ahok. Di pundakmulah Jakarta kutitipkan untuk dibenahi setahap demi setahap. Kita butuh karya dan prestasi dari sampeyan dan tim kerjanya. Kutitipkan pula kepada yang terhormat anggota DPRD DKI, dukung dan bekerjasamalah dengan baik membangun Jakarta. Buang jauh-jauh sentimen politik dan hindari pula aksi “profit taking” agar semuanya menjadi berkah. Bravo koalisi rakyat dan bravo kemenangan demokrasi pada pilgub DKI Jakarta 20 September 2012. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS