Konsumsi Rumah Tangga Adalah Penyumbang Terbesar

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

SELAMA satu dasawarsa lebih, penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga yang rata-rata mencapai 50% lebih tiap tahun.

Namun pertumbuhan ini tidak serta merta meningkatkan kemampuan perkembangan produksi sektor tradable-nya. Yang lebih mengambil manfaat justru kegiatan ekonomi jasa-jasa, sehingga dari 9 sektor jasa yang terekam datanya BPS tahun 2016, sektor tersebut tumbuh rata-rata 5,88%.

Sedangkan perkembangan produksi sektor tradable hanya tumbuh 2,87% pada periode yang sama. Produksi industri manufaktur besar dan sedang pada tahun 2016 tumbuh 4%, namun pada produksi manufaktur mikro dan kecil justru tumbuh 5,78%. Inilah fenomena ekonomi dan bisnis bekerja dalam satu siklus.

Penulis mencoba memahami fenomena semacam itu dalam beberapa penalaran sebagai berikut: Pertama, dalam ekonomi dan bisnis, pertumbuhan dan perkembangan secara hakiki adalah dua hal yang berbeda.

Tumbuh atau penumbuhan atau pertumbuhan, pada dasarnya bisa diarahkan dan direncanakan. Secara by design dapat diformat dan diproyeksikan. Tapi perkembangan ekonomi dan bisnis, pada dasarnya ditentukan oleh mekanisme pasar. Pasar yang akan menentukan pertumbuhan produksi.

Pada contoh di atas, kita mendapatkan kondisi bahwa pasar dalam perkembangan-nya di dalam negeri lebih pro pertumbuhan pada sektor jasa-jasa dan pertumbuhan produksi industri mikro kecil pada satu siklus tahunan yang terjadi pada tahun 2016.

Inilah realitas yang dapat kita fahami bahwa dalam prosesnya, mekanisme pasarlah yang bisa men-drive pertumbuhan ekonomi dan bisnis.
Kedua, oleh sebab itu mengapa ketika ekonomi dengan berbagai sektor yang diprioritaskan untuk ditumbuhkan, pemerintah lebih banyak memberikan perhatian. Antara lain misalnya dengan memberikan proteksi, subsidi, insentif, bantuan teknis dan berbagai bentuk kebijakan afirmasi.

Logika ini bisa dimengerti karena di dalam proses penumbuhan banyak “pengorbanan” yang harus dilakukan, seperti alokasi dan re-alokasi sumber daya agar kegiatan-kegiatan prioritas dapat tumbuh sebagai kekuatan ekonomi suatu bangsa.

Terkait dengan pemahaman ini, pembangunan industri di Indonesia harus dikawal pemerintah dan pada dasarnya tidak dapat sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar.

Premis ini memberikan satu jawaban bahwa pembangunan sektor-sektor prioritas nasional, wajib mendapat perhatian penuh pemerintah selama masa penumbuhan. Jadi, selain diperlukan adanya deregulasi yang lebih diorientasikan pada mengurangi berbagai hambatan bekerjanya mekanisme pasar, juga diperlukan adanya regulasi yang diharapkan mampu memberikan jaminan kepastian hukum.

Ketiga, jika sekarang secara faktual ekonomi jasa di dalam negeri lebih tumbuh dan mampu berkembang adalah karena pembangunan ekonomi nasional, pada dasarnya lebih diserahkan pada mekanisme pasar.

Seperti terjadi pada tahun lalu, konsumsi rumah tangga tumbuh 5%, konsumsi pemerintah turun 0,15%, investasi langsung hanya tumbuh 4,48%, ekspor turun 1,74% dan impor juga turun 2,27%.

Keempat, tumbuh dan berkembang pada akhirnya ditentukan oleh faktor daya saing. Bagi sektor tradable, faktor daya saing adalah menjadi kata kunci utama. Pasalnya, sektor ini tidak hanya sekedar bisa tumbuh, namun juga harus bisa berkompetisi di pasar yang tingkat persaingannya sangat ketat untuk menentukan perkembangan selanjutnya dalam pergerakan ekonomi pasar.

Sebab itu, progam pembinaan sektor tradable selama masa “inkubasi” dan penumbuhan, perlu dukungan kebijakan ekonomi yang benar-benar memihak agar mampu tumbuh sebagai kekuatan produksi yang efisien dan bersaing.

Kalau dibiarkan tumbuh berdasarkan mekanisme pasar, sektor-sektor tradable di Indonesia, pasti akan mati suri. Tesis ini pasti debatible. Tapi kalau kita bercermin pada negara-negara industri maju seperti Jepang dan Korea Selatan, Tiongkok dan India, pemerintahnya memberikan dukungan penuh dalam membangun industri dalam negerinya sehingga kalau kita lihat dari policy framework-nya yang berlaku pada umumnya, tahapan pembangunan akan selalu diawali dengan membangun fondasi.

Disini proses inkubasi dan penumbuhan berjalan dan dalam frasa UU nomor 3 tahun 2014 tentang perindustrian disebut sebagai masa pembinaan. Tahapan berikutnya masa-masa dimana tahap pengembangan mulai dilakukan agar sektor-sektor tradable yang ditumbuhkan mampu menguasai pasar dalam negeri dan kemudian kuat untuk berlaga di pasar internasional.

Pada frasa itu, yaitu di masa pembinaan dan pengembangan, pasti memerlukan sentuhan kebijakan dan progam yang berbeda. Pendek kata tidak dapat dilakukan dengan pendekatan sapu jagad. Tidak bisa sapu bersih, semua dideregulasi. Pasti sebagian juga tetap memerlukan pengaturan atau regulasi agar di masa “inkubasi” dan “penumbuhan” entitas bisnis yang terbentuk menjadi kuat.

Pada masa pengembangan juga memerlukan sentuhan kebijakan dan progam yang pasti tidak akan sama platformnya seperti di tahap pembinaan.

Kelima, berbagai fenomena tersebut di atas, ketika Indonesia di era globalisasi mengambil posisi untuk menjadikan negeri ini sebagai basis produksi dan distribusi global, dalam kenyataannya yang tumbuh dan berkembang adalah kegiatan sebagai basis distribusi dan secara statistik dapat dibuktikan bahwa jasa transportasi dan pergudangan mampu tumbuh 7,74% pada tahun 2016.

Sektor tradable-nya hanya tumbuh 2,87%. Industri di dalam negeri tumbuh, namun belum berkembang secara optimal karena daya saingnya rendah, meskipun tidak semuanya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS