Kontemplasi Pembangunan Ekonomi

Loading

Oleh: Fauzi Azis

Ilustrasi

PERTUMBUHAN ekonomi dalam sistem yang liberal senantiasa tidak serta merta membuahkan kesejahteraan. Eric Maskin penerima hadiah Nobel tahun 2007 menyampaikan warningnya tentang hal itu tatkala menjadi salah satu nara sumber dalam konferensi Asosiasi Pembangunan Manusia dan Kapabilitas di Jakarta baru-baru ini.

Indeks gini ratio juga memberikan indikator yang sama. Pelaksanaan progam melenium development goal’s tidak jelas seperti apa hasilnya. Isu pertumbuhan dan pemerataan adalah nothing dan boleh dikata tidak lebih hanya sekedar jargon politik. Faktanya, dari dulu seperti itu dan dimana-mana di negara manapun, kondisinya sama.

Ekonomi liberal adalah postur yang memberikan hak terhormat kepada para tokoh kapitalis/pemodal yang dalam otaknya hanya ada satu pandangan, mana lagi yang bisa kulalap agar kekayaan makin menggunung.

Makin membesar akumulasi modal yang berhasil dikuasai, tidak ada kontrol dan sampai menjadi bubble yang kemudian meletus dor!!! dan semua collaps. Kemudian, para pejabat otoritas moneter dan fiskal kalang kabut mengusahakan penyelamatan. Maka lahirlah kebijakan bailout dengan memberikan stimulus fiskal dengan alasan berdampak sistemik.

Lagi-lagi yang dibela adalah para kapitalis sementara rakyat pembayar pajak harus rela berkorban dan diminta kencangkan ikat pinggang untuk menyelamatkan para dewa kapitalis yang sudah seperti ikan mas koki megap-megap di permukaan air.

Tahun 1998 kita sudah mengalami krisis ekonomi luar biasa dampaknya karena ekonomi mengalami kontraksi dan tumbuh negatif. Tahun 2008 terjadi lagi krisis, tapi dampaknya memang tidak signifikan seperti 1998 dan setelah recovery, semua otoritas ekonomi mengatakan bahwa kita selamat dari ancaman krisis karena ketahanan ekonomi kita bagus.

Tapi tetap saja kesenjangan ekonomi menganga, bahkan melahirkan terjadinya konflik sosial. Kesadaran untuk mengoreksi sistem yang “gagal” memang bermunculan, antara lain dikumandangkannya pemikiran tentang konsep pembangunan ekonomi yang berkeadilan. Yang lain lagi, didendangkannya konsep pembagunan ekonomi yang inklusif dan mungkin ada lagi konsep pembangunan ekonomi yang lain.

Indonesia nampakanya hanya mengikuti/menjadi follower tentang paradigma pembangunan ekonomi yang berkembang dewasa ini di dunia. Namun semua itu baru tahap wacana karena praktek penyelenggaraan kebijakan ekonomi yang dilaksanakan di hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, masih tetap bersandar pada konsep ekonomi pasar.

MP3EI rasanya masih berlandaskan pada konsep ekonomi pasar yang fokus utamanya pertumbuhan. Bahkan kelompok masyarakat marginal di setiap koridor lebih banyak diposisikan untuk “berkorban” demi dan atas nama pembangunan ekonomi. Pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi yang relatif murah adalah contoh konkretnya sehingga banyak menimbulkan konflik agraria dan konflik sosial.Indonesia sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan menghendaki agar pembangunan ekonomi yang dijalankan bisa melahirkan redistribusi income dan redistrubusi aset produktif yang perlu melakukan kontemplasi tentang konsep pembangunan ekonomi yang dianut. Konsep pembangunan ekonomi yang cocok dengan kultur masyarakat dan tentunya bisa mengatasi masalah kesenjangan secara nyata.

Mengapa harus demikian? Karena kesenjangan bisa menjadi entry point bagi terjadinya disintegrasi bangsa dan ini tidak kita kehendaki. Berdasarkan realitas yang ada, potensi itu bisa berproses, manakala faktor perilaku politik para elitisnya tidak memiliki sence sama sekali tentang konsep pembangunan ekonomi.

Reputasi parpol jeblok, rendahnya kepedulian pemerintah terhadap soal kerakyatan juga rendah. Kinerja pemerintah yang tidak terukur dan cenderung business as usual dalam melaksanakan progam-progam pembangunan. Wabah pendemi yang menghasilkan perilaku koruptif telah merasuk ke hampir seluruh suprastruktur kekuasaan negara dan telah merontokkan integritas penyelenggara negara.

Tidaklah salah jika kehendak sebagian besar rakyat yang berada di luar struktur kekuasaan melakukan tekanan yang keras agar pemerintah dapat memperbaiki kinerjanya dalam melaksanakan progam pembangunan di segala bidang. Secara idial harusnya bangsa ini bisa menjadi role model bagi terciptanya sistem ekonomi baru yang bisa mengatasi masalah kesenjangan yang dapat membuahkan kesejahteraan dan kemakmuran komunal.

Menciptakan sistem ekonomi yang bisa menyebabkan masyarakat merasa ikut memiliki negeri ini yang sekaligus bisa ikut bertanggungjawab jika terjadi persoalan ekonomi. Berkemampuan menciptakan sistem ekonomi yang bisa mendorong lahirnya harmonisasi kehidupan warga negaranya yang multikultural dan multietnis.

Untuk melaksanakan konsep yang idial seperti itu sebenarnya bangsa ini sudah memiliki pondasi dan dasar-dasarnya yang kuat dan tidak ada duanya di dunia, yakni ekonomi Pancasila dengan lima pilarnya yang bernilai tinggi berdasarkan landasan ketauhidan dan keharmonisan hidup berekonomi sesuai dengan semangat keindonesiaan yang menjunjung tinggi nilai keadaban kemanusiaan, persatuan, azas musyawarah untuk mufakat dan keadilan sosial.

Konsep ekonomi yang satu ini paling tepat diimplementasikan dalam bentuk peraturan perundangan, kebijakan dan progam pemerintah bersama seluruh komponen bangsa. Konsep ini tak akan lapuk dalam dinamika perkembangan zaman karena seluruh pilarnya bernilai universal. Dan jika Indonesia bisa menjadi role model-nya, maka hampir pasti ini akan bisa menjadi acuan dunia terutama di lembaga seperti IMF, Bank Dunia, WTO, FAO, ILO dll yang senantiasa sedang berusaha mencari rumusan baru tentang konsep pembangunan ekonomi yang lebih beradab. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS