Korupsi Tidak Pernah Berdiri Sendiri

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

KORUPSI itu pada dasarnya bersifat transaksional. Para pihaknya pasti ingin saling mengambil manfaat, umumnya bersifat material. Selalu melibatkan oknum elit politik, oknum pejabat birokrasi, perusahaan dan para kroni elit politik, kroni elit pejabat, bahkan kroni pengusaha.

Proses window dressing, rekayasa finansial, mark up adalah cara yang umum dipakai, termasuk merekayasa dalam proses administrasi pelelangan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selalu berjalan melalui proses perburuan rente, intrik, sogok, suap, ancaman, sampai kepada menyodorkan perempuan penghibur yang maaf ‘’nilai jualnya mahal’’.

Pendek kata, semua cara ditempuh, at all cost, lupa istri, lupa anak dan keluarga besarnya. Tempat untuk bernegosiasi dan bertransaksi dimana saja, kapan saja, selama 24jam. Namanya berburu rente, selalu saja terjadi ada yang meminta uang muka dari zaman Orba hingga sekarang ini.

Praktek korupsi atau KKN pada zaman Orba dulu, seperti diungkap dalam buku “Pengakuan Bandit Ekonomi John Perkins”, Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara Dunia Ketiga, halamam 58, dinyatakan bahwa ada empat cara memberi suap, yakni 1) bisa menyewa peralatan konstruksi seperti dozer, truk dan peralatan berat lainya kepada peerusahaan milik keluarga pejabat atau elit politik penguasa dengan harga lebih tinggi dari harga normalnya.

2) Mengalihkan kontrak beberapa proyek kepada perusahaan milik keluarga para pejabat atau elit penguasa. 3) Menggunakan cara serupa untuk memenuhi kebutuhan makanan, perumahan, mobil, bahan bakar dan kebutuhan lainnya. 4) Mereka bisa menawarkan diri untuk memasukkan putra-putri para kroni orang Indonesia ke kampus-kampus prestisius AS, menanggung biaya mereka dan menggaji mereka setara dengan konsultan dan pegawai perusahaan mereka di AS.

Praktek ini dilakukan oleh perusahaan AS yang akan ikut mengerjakan proyek-proyek
ketenagalistrikan, pertambangan dan migas di Indonesia kala itu. Dalam pengantar buku tersebut yang ditulis oleh Budiarto Shambazy di halaman xi diungkapkan, pada waktu proyek PLTU Paiton I dan II dilaksanakan, nilainya mencapai sekitar US$ 3,7 miliar. Biaya ini adalah 60% lebih mahal dari proyek serupa di Filipina dan 20 kali lebih mahal dibandingkan di AS.

Praktek semacam ini sampai sekarang diduga masih berjalan dalam modus dan cara yang sama, bisa pula berbeda. Kasus proyek Hambalang sebagai contoh, nyaris tidak mungkin kalau kasus korupsinya hanya dioperatori oleh pejabat setingkat eselon dua saja sendirian. Hampir pasti bisa melibatkan pejabat di atasnya baik setingkat eselon satu, bahkan hingga menterinya.

Keterlibatan Oknum DPR

Keterlibatan oknum di DPR dari komisi yang membidanginya serta oknum di Banggar DPR, juga pasti sangat kental. Perilakunya rata-rata seperti itu. Ketika masuk ke ranah hukum, hampir pasti terjadi konflik kepentingan karena para oknum yang diduga terlibat berupaya sekuat tenaga untuk cuci tangan.

Inviltrasi politik pasti juga terjadi. Di sini proses sogok dan suap juga berputar uang yang nilainya tidak kecil untuk mempengaruhi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Inilah sebuah realitas yang ada. Praktek korupsi selalu ada unsur perburuan rente, mafia, markup, window dressing, rekayasa finasial dan bersifat sistemik.

Pembuktiannya sebenarnya mudah saja kalau operator lapangannya mau mengakui. Apalagi kalau sudah ditemukan dua alat bukti. Apa sulitnya mencari dua alat bukti dibandingkan harus mencari 10 atau 100 alat bukti. Yang membuat rumit ketika proses politik dan proses hukum berkolaborasi, sehingga berakibat penanganan kasus korupsi berjalan tertatih-tatih kayak siput jalannya.

Masyarakat boleh marah, tapi mereka sedang asyik bermain bola gajah. Oleh karena itu, gerakan rakyat untuk terus menekan jangan berhenti. Makin keras, makin baik. Yang penting tidak anarkis. Jika tidak terus ditekan dan sesekali “dipermalukan” (karena urat malunya para pelaku KKN sudah hilang), mereka akan terus asyik bermain bola gajah.

Semoga saja korupsi atau KKN bisa diberantas melalui dua instrumen, yaitu 1) penegakan hokum dan 2) gerakan people power sebagai kekuatan penekan dan penyeimbang.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS