Koruptor di Era Reformasi Paling Biadab

Loading

Oleh: Marto Tobing

Ilustrasi

Ilustrasi

PADA masa kepemimpinan Bung Karno selaku Presiden Orde Lama (Orla) kejahatan tindak pidana korupsi (Tipikor) yang melekat pada pelakunya sebagai koruptor, nyaris tak terdengar, selain raibnya dana rampasan perang yang dikucurkan pemerintahan eks penjajah. Saat itu para elite masih membanggakan kepal tinju semangat kebangsaannya jauh ke depan yang dikenal dengan jargon Nation and Character Buiding.

Namun, bapak proklamator itu pun terjungkal lewat “kudeta” konstitusional alias dilengserkan. Hanya dengan satu kalimat suara anggota Majelis Permusawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yakni: “Mosi Tidak Percaya”. Bung Karno selesai.

Beranjak ke masa kepemimpinan Soeharto, sebagai Presiden Orde Baru (Orba), perilaku para koruptor mulai menggeliat. Sikap otoriter kepemimpinan Orba mulai menggeser nilai kepalan tinju kebangsaan ke arah genggam nilai materi. Perilaku transaksional pun menjadi acuan managamen kepemimpinan di segala lini birokrasi pemerintahan berhadapan dengan kalangan mitra di sektor swasta, yang dilekatkan pada strategi managamen Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Sebagaimana Bapak Proklamator Bung Karno dilengserkan dari kekuasaannya selama 20 tahun, Pak Harto yang dikenal masa itu sebagai Bapak Pembangunan, juga tak luput dari kemarahan. Atas desakan rakyat dan mahasiswa revolusional akhirnya penguasa 32 tahun itu pun lengser keprabon hanya dengan satu kalimat yakni: “…Saya Menyatakan Berhenti”.

Hirup pikuk demokrasi mulai memasuki pintu gerbangnya di tangan kepemimpinan Presiden BJ Habibie dilanjutkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Masih di tengah perjalanan Gus Dur digantikan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Lewat Pemilihan Umum Tahun 2004 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil menyisihkan semua rivalnya. Sebagai presiden yang kelima SBY berkomitmen penegakan hukum dijadikan sebagai panglima demi mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat semesta.

Namun menapak perjalanan kepemimpinannya selama dua periode ternyata, hingga kini gerakan reformasi yang dicanangkan masih tersandung-sandung kalau tidak bisa dikatakan slogan belaka.

Mulai dari kasus korupsi triliunan rupiah antara lain di Bank Century, Bank Indonesia (BI), korupsi 17 gubernur bagian dari 34 provinsi, korupsi melibatkan sedikitnya 150 bupati, wali kota, hakim, jaksa, polisi, pengacara, pengusaha, kepala desa (lurah) dan korupsi hampir di semua kementerian, bahkan korupsi di kalangan politisi anggota DPR-RI dan DPRD sudah sangat masif. Maka sempurnalah sudah kebobrokan moral para elite yang korup di tengah marjinalisasi kaum proletar menanti hujan turun bak di siang bolong.

Tak kalah gencar, bahkan Metro TV dalam acara Mata Najwa yang ditayangkan Rabu malam (25/5) cukup keras melontarkan sinismenya terhadap perilaku para koruptor yang bertransaksi di atas meja dan di bawah meja, melainkan seluruh meja-kursi transaksi pun ikut dilahap hanya dengan satu tujuan memperkaya diri dan kroni.

“Kalau pada masa orde baru korupsi itu dilakukan di atas meja atau di bawah meja, di era reformasi sekarang ini perilaku korupsinya lebih biadab karena meja dan kursinya ikut diangkut semua,” ujar Najwa mengakhiri acaranya sebagai kesimpulan hasil wawancananya bersama para pengamat profesional. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS