KPK Eksekusi Akil Mochtar

Loading

kpkkk

JAKARTA, (tubasmedia.com) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang divonis hukuman seumur hidup. Eksekusi dilakukan dengan memindahkan Akil ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.

“Karena telah berkekuatan hukum tetap, kemarin telah dilakukan eksekusi terhadap Akil Mochtar ke lapas Sukamiskin Bandung. Proses eksekusi selesai sekitar pukul 17.00 WIB,” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha.

Menurut priharsa, proses eksekusi dilakukan setelah putusan Akil berkekuatan hukum tetap. Pada 23 Februari 2015, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Akil Mochtar sehingga hukumannya tetap seumur hidup. MA juga tidak meluluskan permohonan Jaksa Penuntut Umum KPK yang menginginkan hukumannya ditambah dengan membayar denda sebesar Rp10 miliar

Sebelum dibawa ke MA, kasus ini diproses banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada 12 November 2014 PT DKI Jakarta menolak banding Akil sehingga Akil dinilai tetap harus divonis penjara seumur hidup. Putusan seumur hidup ini diketok majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 30 Juni 2014. Hakim Tipikor menyatakan Akil bersalah dalam enam dakwaan sehingga harus divonis seumur hidup.

Dakwaan pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas (Rp3 miliar), Lebak (Rp1 miliar), Pelembang (Rp19,9 miliar) dan Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS).

Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Buton (Rp1 miliar), Morotai (Rp2,99 miliar), Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar), sedangkan Lampung Selatan (Rp500 juta) dinilai sebagai gratifikasi, bukan suap sehingga tidak terbukti.

Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur (Rp10 miliar) dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta).

Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten (Rp7,5 miliar).

Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp129,86 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.

Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.

Akil juga pernah mengajukan permohonan uji materi atau judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ke Mahkamah Konstitusi karena menilai bahwa frasa “patut diduga” atau “patut diduganya” yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (1) UU 8/2010 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.Namun MK memutuskan untuk menolak uji materi Akil tersebut pada 12 Februari 2015.(hadi)

CATEGORIES
TAGS