Site icon TubasMedia.com

Kuliah Umum Mengenang Yap Thiam Hien

Loading

Laporan: Redaksi

Yap Thiam Hien

Yap Thiam Hien

JAKARTA, (Tubas) – Dari berbagai nilai yang dianut oleh Yap Thiam Hien, ia adalah pengabdi hukum sejati yang mengabdikan seluruh hidupnya demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Sebagai advokat sejak 1948, Yap yang lahir di Koeta Raja, Aceh, 25 Mei 1913 dan meninggal di Brussel, Belgia, 25 April 1989 (dalam usia 75 tahun) selalu melayani kepentingan masyarakat dari semua lapisan tanpa kenal lelah.

Hal itu terungkap dalam kuliah umum mengenang Yap Thiam Hien (Yap Thiam Hien Memorial Lecture) yang diselenggarakan di ruang seminar Lantai 3 Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jalan Sutoyo No 2 Cawang Jakarta Timur, Selasa (14/6/2011). Kuliah umum yang diselenggarakan atas prakarsa UKI, Ukrida, PGI, Penabur dan STT Jakarta itu dihadiri sekitar 200 orang dari berbagai kalangan, antara lain mahasiswa, pengacara dan pakar hukum, serta beberapa tokoh lain.

Dalam kuliah umum bertemakan “Kiprah dan Pemikiran Yap Thiam Hien dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan”, dihadirkan enam pembicara: Ir Maruli Gultom, Rektor UKI (sebagai pembicara kunci), Dr AA Yewangoe (Ketua PGI), Dr Albert Hasibuan, SH, Pdt Josef P Widiatmadja, Dr Todung Mulya Lubis, dan Prof Dr John Pieris, SH, MH.

Kuliah umum tersebut diselenggarakan untuk mengenang dan menggali kembali semangat, pemikiran serta kiprah Yap Thiam Hien; sebagai bentuk penghormatan atas perjuangan yang telah dilakukan Yap; dan untuk membangkitkan semangat dan sikap anti diskriminasi dalam masyarakat Indonesia dan global.

Sosok Yap adalah pribadi yang langka di negeri ini. Sebagai advokat, hampir setiap perkara yang ditanganinya sarat dengan isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia, prinsip-prinsip negara hukum dan keadilan. Ia tak pernah takut berhadapan dengan kekuasaan walaupun risikonya bisa menyulitkan dirinya, ditahan dan dipenjara. Yap berani tampil membela kasus-kasus yang sarat dengan nuansa perampasan keadilan dan pelanggaran HAM, antara lain kasus pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung, kasus G30S/PKI dengan tersangka Dr Soebandrio, Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat, kemudian kasus Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, dan kasus Tanjung Priok pada 1984.

Bahkan pada masa Presiden Soekarno, Yap Thiam Hien berani menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subandrio, Sjahrir, dan Princen.

Sekalipun Yap menyandang beban sebagai “minoritas ganda” (seorang keturunan etnik Tionghoa dan Kristen), namun hal itu tak pernah menghalanginya untuk bertindak jujur dan berani melawan ketidakadilan dan tindakan diskriminatif. Sosok langka Yap Thiam Hien, Sang Pejuang HAM Sejati, sungguh amat dibutuhkan dalam upaya memperbaiki karut-marutnya kehidupan berhukum, bernegara dan berdemokrasi di Indonesia saat ini.

Karena itu, nama Yap Thiam Hien telah menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Pria keturunan etnik Tionghoa ini adalah advokat teladan yang berani dan tanpa pamrih berada paling depan membela orang-orang tertindas. Namanya tetap hidup menjadi sumber inspirasi dan obor api perjuangan HAM yang terus menyala dan tidak pernah padam. (apul)

Exit mobile version