Larangan Ekspor SDA Satu Sisi Sudut Pandang

Loading

Oleh: Fauzi Azis

PERTAMA, global political outlook selalu menyebut Indonesia sebagai pusat komoditi penting untuk dunia. Di lain pihak, laporan itu selalu menyebut Indonesia sebagai pasar berskala besar barang dan jasa di dunia. Terkait dengan ini, Indonesia disebut menjadi satu negara dari 13 Pivotal State (yang berpengaruh di dunia) .

Pernyataan tersebut tentu menjadi isu strategis global, yang bagi Indonesia sendiri harus membacanya dengan cara seksama agar setiap policy respons yang dihasilkan saling memberi manfaat bagi Indonesia sendiri maupun bagi negara- negara lain di dunia.

KEDUA, tidak salah jika isu strategis tersebut kita transformasikan ke dalam satu arah dan tujuan politik ekonomi nasional yang berkehendak untuk menciptakan satu titik keseimbangan bahwa betul di satu sisi Indonesia adalah menjadi salah satu penyedia komoditi penting bagi dunia dan sekaligus pasar barang dan jasa dari dunia lain.

Tapi di sisi lain, Indonesia secara konstitusional sudah bertekad secara politik ekonomi untuk menjadi negara industri baru dengan cara mengolah sumber daya alam yang dimiliki menjadi berbagai produk olahan. Komoditi dan pasar hakekatnya adalah aset nasional yang harus dilipat gandakan nilai tambahnya untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Prosesnya akan dilakukan melalui pembangunan cabang-cabang produksi yang penting untuk pemenuhan hajat hidup orang banyak. Konteks pemanaknaannya berarti hajat hidup orang Indonesia maupun warga dunia.

Sebab itu, Indonesia mau tidak mau harus turut serta sebagai aktor dalam perdagangan internasional (ekspor – impor). Ini berarti bahwa barang dan jasa yang diproduksi dan diperdagangkan secara internasional akan menempatkan posisi Indonesia harus eksis di pasar global, di lain pihak tidak bisa menutup masuknya barang dan jasa dari negara lain ke Indonesia, baik untuk diproduksi maupun diperdagangkan di Indonesia.

Dalam konsep PDB diusahakan agar kegiatan ekspor dan impor barang dan jasa  dapat menghasilkan surplus ekspor. Terkait dengan ini, sudah pasti diperlukan policy support yang tepat agar surplus ekspor barang dan jasa setiap tahun dapat kita raih.

KETIGA, bagaimana dengan penerapan kebijakan larangan ekspor SDA (sumber daya alam), apakah tindakan ini benar atau salah. Duduk perkaranya bukan soal benar atau salah. Yang tepat adalah bahwa kita bukan menjalankan praktek larangan ekspor yang tengah kita kerjakan sejatinya proses transformasi nilai dari komoditas menjadi barang yang lebih bernilai tambah tinggi. Proses yang ditempuh adalah semacam shifting proses ekstraksi menuju proses industri.

Upaya ini adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dinafikkan karena berbagai jenis teknologi sudah tersedia di pasar. Dan kita mampu membeli berbagai teknologi untuk mendukung industrialisasi. Singkat cerita, kita sesungguhnya hanya menjalankan kebijakan re-alokasi sumber daya. Bahwasanya dampak dari kebijakan ini dapat mengurangi volume komoditi yang diekspor memang bisa terjadi

Hal ini bisa terjadi karena kita tengah menjalankan proses transformasi nilai dan shifting untuk memperbaiki struktur perekonomian nasional, serta pola dan struktur industri nasional.

KEEMPAT, jika ini yang kita katakan pada dunia, maka langkah tersebut tidak akan menimbulkan sentimen negatif dalam praktek perdagangan internasional karena kita tidak melakukan kebijakan larangan ekspor, sehingga tidak bisa digugat di WTO.

Satu catatan penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa proses transformasi dan shifting tadi harus segera diikuti  dengan dukungan kebijakan dan progam investasi. Yang kita lihat selama ini selalu terjadi time lag yang terlalu lama untuk merealisasikan rencana investasi. Pengalaman larangan ekspor nikel yang digugat melalui WTO dan kita kalah, mestinya tidak diulang lagi dalam rencana pelarangan ekspor bauxit yang akan dirilis pemerintah pada juni 2023.

Kita Tidak Cermat

Lebih tepat bila kita pilih soft policy daripada memilih hard policy seperti larangan ekspor karena tindakan ini secara sadar menghambat akses ke suplai yang dinilai sebagai tindakan unfair business. Kita sendiri sebenarnya tidak cermat menentukan subyek kebijakan karena dari awal yang kita jadikan subyek kebijakan sejatinya adalah kebijakan hilirisasi industri, bukan kebijakan larangan ekspor.

Dan kebijakan hilirisasi hakekatnya adalah bagian dari kebijakan investasi dan industri yang output produknya akan dijual di dalam negeri dan di ekspor. Dalam hubungan ini, maka hal yang terkait dengan pengaturan ekspor dan impor dapat ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan investasi dan Industri.

Pada konteks ini, yang diperlukan adalah soal pengaturan ekspor dan impor. yang terkait dengan pelaksanaan progam investasi dan hilirisasi industri. Karena itu, disarankan agar kebijakan investasi, industri dan perdagangan SDA seperti nikel, bauxit dan lainnya diformat dalam satu kerangka kerja kebijakan yang utuh karena ketiganya berada dalam satu ekosistem.

.KELIMA, kita selalu menghadapi trade off kebijakan, tapi anggap saja hal yang biasa  Kita menyadari bahwa antara teori kebijakan dan praktek kebijakan tidak selalu klop. Karena itu, sebaiknya kita harus lebih memilih pendekatan soft policy ketimbang hard policy untuk mengurangi seoptimal mungkin distorsi pasar.

Khusus terkait pengelolaan SDA untuk mencapai sasaran dan target penguatan struktur ekonomi dan pendalaman struktur industri, narasi dan nomenklatur kebijakan hilirisasi komoditi SDA lebih baik tidak menggunakan narasi keras seperti larangan ekspor. Mungkin ditulis saja dengan judul ” Kebijakan Investasi Dalam Rangka Hilirisasi Industri Bauxit”.

KEENAM, mengapa itu yang dipilih? Alasannya karena Indonesia harus membangun industri hulu sesuai amanat konstitusi. Kita tahu dan dunia juga tahu bahwa membangun industri hulu bersifat padat modal, padat teknologi dan investasinya beranjangka panjang, meskipun economic outcome-nya tinggi, tidak banyak sektor swasta yang minat berinvestasi di sektor hulu.Termasuk dalam hal ini sektor perbankan karena berisiko tinggi.

Sebab itu, proyek hilirisasi nikel, bauxit dan lainnya sebaiknya dinyatakan sebagai proyek pionnir. Dan dalam hubungan ini, sebaiknya pemerintah melalui Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dapat melakukan investasi langsung pada progam hilirisasi industri.

Boleh jadi dapat menggandeng pemerintah daerah penghasil SDA yang bersangkutan , dan sektor swasta untuk melakukan kerjasama investasi untuk mengatasi time lag yang tidak menentu antara rencana investasi dan realisasinya. (penulis adalah pemerhati ekonomi dan industri tinggal di Jakarta)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

L

CATEGORIES
TAGS