Liberalisasi dan Perdagangan Bebas

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

FENOMENA ekonomi atau sebut saja peristiwa ekonomi yang terjadi di hampir semua negara tanpa mengenal waktu, sudah bisa disebut, karena senjata makan tuan akibat liberalisasi dan perdagangan bebas. Dengan demikian dapat pula disebut sebagai akhir dari sebuah perjalanan bahwa sistem ekonomi liberal telah gagal mengantarkan tata ekonomi dunia yang adil, yang mampu memecahkan berbagai permasalahan ekonomi, baik di negara maju maupun negara-negara berkembang.

Aktivitas ekonomi sudah benar-benar tunduk pada hukum pasar bebas, yakni ditentukan oleh faktor penawaran dan permintaan. Instrumen kebijakan ekonomi yang digerakkan untuk mengatasi berbagai kemelut ekonomi, seperti krisis di zona euro, AS, dan di negara lain, tidak bisa “cespleng” memberikan pengobatan akibat akumulasi nilai dampak yang ditimbulkannya secara material maupun imaterial sudah sangat besar.

Bayangkan kalau perbandingan utang negara-negara maju terhadap GDP masing-masing negara secara rata-rata sudah mencapai di atas 100 persen, siapa yang sanggup membayarnya. Belum lagi kerusakan lingkungan yang pasti menimbulkan kerugian yang amat besar pula.

Kalau memang demikian, berarti apakah sudah bisa dikatakan sekarang saatnya tata ekonomi yang bersifat liberal dengan mengandalkan perdagangan bebas sebagai king maker dikaji ulang? World Economic Forum, G-20, IMF, Bank Dunia, dan WTO seharusnya yang memulai melakukan kajian itu agar sistem ekonomi yang dibangun ke depan lebih mempertimbangkan nilai budaya dan nilai kemanusiaan, sehingga dampak liberalisasi dan perdagangan bebas dapat menyelamatkan kehidupan masyarakat dunia dari kegagalan sistem yang dianut.

Pertanyaan ini barangkali amat bodoh dan mengada-ada.Tapi, secara logika harusnya bisa dilakukan. Disiplin ilmu ekonomi kelihatannya tak sanggup sendirian menjawab persoalan dampak dari praktik ekonomi liberal dan perdagangan bebas, karena doktrin atau paham liberalisme itu sesungguhnya bukan paham ekonomi, tapi lebih kuat sebagai doktrin politik, terutama yang dianut oleh Barat.

Doktrin ini yang melahirkan malapetaka ekonomi. Doktrin liberal bukan sebuah ilmu pengetahuan, tetapi hanya sekadar paham atau idiologi yang diyakini kesahihannya oleh para pengusung dan para penganutnya, termasuk oleh para pengambil kebijakan ekonomi di masing-masing negara, termasuk Indonesia. Doktrin liberal itu mendewakan kekuatan hegemoni politik ekonomi.

Sebagai kekuatan hegemoni politik ekonomi tentu faktor kepentingan yang akan banyak berbicara dan berperan mengendalikan rumah tangga ekonomi negara. Kekuatan politik global pengusung liberalisasi dan perdagangan bebas yang akan menentukan arah pembangunan ekonomi di hampir banyak negara. Bahkan, bukan hanya sekadar penentu arah. Lebih dari itu, dengan kekuatan hegomoninya kebijakan ekonomi liberal dan perdagangan bebas bisa dikonotasikan sebagai wahana untuk melakukan proses kooptasi terhadap aset produktif di negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam.

Tapi, apakah hal demikian dapat dicegah? Semua berpulang pada kehendak politik di tingkat global, regional, serta nasional. Kita lalu ingat apa yang dilakukan oleh Bung Karno, selaku Presiden RI pada tahun 1951. Kala itu beliau membekukan konsesi bagi MNC melalui UU Nomor 44/1960 yang mengatur bahwa “seluruh pengelolaan minyak dan gas alam dilakukan oleh negara atau perusahaan negara”. Aturan ini senapas dengan semangat Pasal 33 UUD 1945.

Perbaikan Sistem

Di running text TV swasta yang tayang pada Minggu, 8 September 2013, Ketua KPK Abraham Samad juga memohon kepada Presiden SBY agar tahun 2014 pemerintah menasionalisasi perusahaan migas asing. Entah apa yang menjadi pertimbangannya, jika pernyataan itu benar. Jika pernyataannya betul, itu adalah sebuah cermin dari pikiran sosok Abraham Samad selaku Ketua KPK.

Lepas dari dinamika yang berkembang di tataran global maupun regional dan nasional dewasa ini, maka upaya perbaikan/koreksi terhadap sistem apa pun yang dianggap menimbulkan masalah terhadap kehidupan memang patut dilakukan. Apakah yang berdimensi politik maupun ekonomi. Sistem itu kan buatan manusia yang tidak selamanya dapat berjalan baik, atau paling benar di sepanjang zaman. Karena itu, jika sistem tersebut ternyata sudah tidak sahih lagi, harusnya bisa diubah agar menjadi lebih humanistik bagi kepentingan semua negara di dunia.

Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berpotensi bisa “menghancurkan” atau “membangkrutkan” peradaban suatu bangsa/negara, harus dicegah. Dan para penganut paham liberalisme dan perdagangan bebas harus berpikir dan bekerja dalam koridor ini agar kesejahteraan hidup manusia sejagat menjadi lebih baik. Dunia tampaknya lebih cenderung memilih diterapakannya sistem ekonomi yang lebih humanistik sesuai fitrah manusia diciptakan oleh Tuhan.

Kisah penciptaan manusia mengisyaratkan bahwa Tuhan menciptakan manusia adalah untuk saling memuliakan dan saling menghargai. Dan mempersiapkan manusia ciptaanNYA untuk menjadi pemimpin dunia, bukan untuk menjatuhkan martabat manusia. Di sinilah pentingnya upaya untuk melakukan penataan dan evalusi terhadap sistem yang berlaku, termasuk sistem ekonomi liberal dan perdagangan bebas.

Kehidupan memang perlu diatur, dikontrol, dan dikendalikan. Di dunia ini tidak ada yang langgeng atau abadi. Karena itu, jika salah harus segera diperbaiki agar menjadi benar, menjadi lebih baik, dan sebagainya. Dunia mendambakan perdamaian yang abadi, maka tugas kita untuk mewujudkannya, baik di AS, Eropa, Asia, Afrika, maupun kawasan-kawasan lainnya. ***

CATEGORIES
TAGS