Luntur

Loading

4-jpg2

Oleh: Fauzi Aziz

 

DALAM kamus bahasa Indonesia, luntur artinya berubah atau hilang warnanya. Menjadi lusuh, belel dalam bahasa gaul, inilah luntur. Kosa kata ini seringkali dipakai sebagai penggambaran atas kondisi dan situasi tertentu di dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya imannya luntur. Nasionalisme dan patriotisme sudah luntur atau memudar. Integritasnya memudar dan sebagainya. Mengapa luntur, karena tidak dirawat dengan baik, meskipun secara alamiah kelunturan itu pasti akan terjadi.Tapi kalau dirawat akan menjadi awet, warnanya masih seperti sediakala dan tetap menarik dan enak di pandang. Berkebangsaan tidak boleh luntur. Semangatnya tidak boleh berubah. Merah Putih tetap merah putih sebagai bendera Indonesia yang harus dikibarkan di seluruh Indonesia dan bahkan di manca negara.

Krisis identitas, krisis jati diri sebagai bangsa harus dicegah dan kalau sampai terjadi akan merugikan bangsa Indonesia sendiri dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena itu, warna asli bangsa Indonesia harus dijaga supaya tidak luntur.

Di era globalisasi, demokratisasi, digitalisasi dan perdagangan bebas, seluruh komponen bangsa tanpa kecuali tengah berhadapan dengan lingkungan yang saling mempengaruhi sehingga proses “penggerusan” dan “pembauran” sistem nilai terus berlangsung tanpa bisa dicegah.

Proses ini berlangsung dalam 24 jam penuh akibat perkembangan teknologi informasi. Penggerusan dan pembauran berjalan dalam satu siklus yang sama dengan pemberdayaan dan perawatan nilai-nilai luhur bangsa.

Kita benar-benar sedang bertarung dan terus menerus bersiasat secara strategis dan taktis agar ke-Indonesia-an kita tetap utuh dan tidak mengalami kelunturan secara idiologis, politis, ekonomis dan budaya karena faham pragmatisme yang kini mendunia.

Pertarungan ini sengit berlangsung di dunia nyata dan di dunia maya. Luntur bersifat alamiah, tetapi tidak bisa dibiarkan terjadi begitu saja.

Warna dalam arti yang sebenarnya boleh saja luntur, bahkan ada yang sengaja dilunturkan agar kelihat an lusuh dan belel. Namun warna sebagai ekspresi jati diri bangsa harus dirawat, dijaga dan dipelihara agar kita tidak menjadi bangsa yang “lusuh” atau “belel”. Bangsa Indonesia harus tampil di belantara dunia dengan jati diri yang konkret, nasionalisme dan patriotisme tinggi. Martabat dan keadabannya terjaga dan unggul. Semangat ini tidak boleh luntur kalah dengan pragmatisme.

Bagi bangsa lain, pragmatisme adalah realistik, tetapi bagi bangsa Indonesia, pragmatisme tidak realistik karena kita masih menjadi bangsa yang menjunjung tinggi idiologi bangsa, yakni Pancasila.

Artinya Pancasila tidak boleh kalah dengan idiologi pragmatisme. Idiologi bangsa yang sakti tidak bisa luntur apalagi secara by design sengaja akan dilunturkan agar bisa dijelajahi secara bebas sebebas-bebasnya oleh faham pragmatisme.

Luntur atau sengaja melunturkan Indonesia dalam dimensi apapun adalah a-nasionalis. Tidak cinta tanah air. Padahal cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah sifat pragmatisme yang harus dibumi hanguskan. Sikap menerabas ingin kaya dengan menjalankan KKN adalah tidak nasionalis karena dengan sengaja bermain di air keruh mengambil harta negara dengan berlindung di balik kekuasaan yang melekat pada dirinya sebagai abdi rakyat.

Luntur hanya sebuah kata yang hanya terdiri dari enam huruf. Namun jika kata tersebut dikontekstasikan ke dalam khasanah berbangsa dan bernegara, efek distruktifnya amat dahsyad, jika sebuah bangsa di satu negara mengalami krisis indentitas dan jati diri.

Luntur jika bergabung dengan lentur, lebih bahaya lagi ancamannya karena kelenturan atas penghayatan dan penjiwaan nilai luhur bangsa yang terbungkus dalam bingkai pragmatisme, bangsa Indonesia bisa seperti bunglon.

Bisa tidak teguh pendirian ketika berjuang di fora internasional memperjuangkan kepentingan. Politisi yang luntur dan lentur, di dalam negeri banyak sekali jumlahnya dan sebenarnya tidak pantas menjadi pemimpin di negeri ini.

Politisi yang luntur dan lentur pasti pragmatis dan patut diduga gemar melakukan transaksi politik dengan sejumlah “imbalan”. Semoga Indonesia tetap utuh seperti warna aslinya. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi).

CATEGORIES
TAGS