Manfaat Memiliki Watak Rela

Loading

(Disarikan dari tulisan Bp. Tjiptadi, Dwija Wara Juli – Agustus 1966)

ilustrasi

ilustrasi

WATAK rela merupakan salah satu pelengkap jika kita hendak menyucikan hati kita supaya mampu mendekat kepada Allah. Apabila watak rela dihayati oleh setiap hamba yang sadar sebagai hamba Tuhan di dalam kehidupan sehari-harinya, maka ia dapat merasakan nilai positif dari watak rela.

Marilah sejenak kita memperhatikan, bagaimana jadinya dengan seorang yang tidak mempunyai watak rela, atau seorang yang belum menerima sifat rela itu sebagai suatu keharusan dalam hidupnya. Orang tersebut biasanya ingin senantiasa memaksakan kehendaknya ke dalam segala hal/peristiwa. Hal ini tidak lain karena perwujudan dari ego-nya yang masih belum bisa dikendalikan, karena tidak pernah disucikan dengan rela, yang berarti belum menyerahkan kedaulatan sang ego kepada kekuasaan Tuhan.

Dalam keadaan seperti itu sang ego masih berlaku mutlak, maka ia tidak akan dapat menerima suatu perlakuan yang tidak enak. Juga di dalam menghadapi suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Apabila kenyataan itu terasa tidak mengenakkan sang ego, maka ia akan memprotes. Sebab sang ego merasa yang paling benar, paling hebat, paling pintar.

Jadi, jika terjadi sesuatu yang merugikan sang ego, maka dengan berbagai jalan/diplomasi sang ego akan mengubah kejadian/kenyataan yang dihadapinya sehingga menjadi menguntungkan (favourable) baginya. Di sini jelas nampak eratnya hubungan antara watak rela dan jujur. Memang seorang yang mempunyai watak jujur, tentu dia mempunyai dasar watak rela.

Apakah yang kita lihat di sini sekarang? Tidak lain, bahwa watak rela itu merupakan dasar dari sikap obyektif. Obyektivitas tidak mungkin tanpa didasari oleh watak rela ini. Kalau ada orang yang mengatakan dia bersikap obyektif, padahal sebenarnya belum/tidak melatih dirinya untuk memiliki watak rela, maka obyektivitasnya hanyalah obyektivitas yang sewaktu-waktu saja (isidentil). Sebab kalau pada suatu saat dia menghadapi kenyataan pahit yang harus diterimanya, maka pasti akan muncullah subyektivitasnya.

Sumbangan yang diberikan oleh sikap obyektif di dalam kehidupan sehari-hari sungguh besar sekali. Setiap persoalan akan lebih mudah diselesaikan kalau segala segi-seginya diketahui secara obyektif. Apalagi di dalam dunia Ilmu Pengetahuan, maka syarat obyektif adalah syarat yang pokok. Bagaimana pun pintarnya seorang sarjana, tetapi kalau tidak obyektif, maka hasil-hasil karya/tinjauannya tidak memiliki mutu ilmiah yang tinggi.

Bahkan mungkin dia secara sengaja akan memperkosa kenyataan demi popularitas pribadinya. Sebuah contoh nyata yang ditulis di majalah Intisari, Tahun I No. 4 yang disarikan dari buku C.G. Jung: Memories,Dreams, Reflections sebagai berikut. Seorang sarjana besar di dalam Ilmu Jiwa, yang bernama Freud, terkenal dengan “libido seksualisnya”. Pada pokoknya Freud berpendapat bahwa, naluri seksuil adalah daya penggerak utama dalam hidup manusia dan merupakan kekuatan terpenting dalam hidup-mental-taksadar.

Pendapat ini benar-benar telah menggoncangkan zamannya dan merupakan suatu sumbangan besar pula dalam dunia Ilmu Jiwa. Tetapi, ada tetapinya, salah seorang murid Freud yang besar pula, yaitu: Jung, mulai meragukan kebenaran mutlak dari teori gurunya dan mulailah dia mencari jalan sendiri. Maka terjadilah saat dramatis, di mana Freud meminta kepada Jung supaya tetap setia mengikutinya, demi kewibawaannya. Bagaimana pun besarnya konflik yang berkecamuk dalam dadanya, tetapi Jung tidak dapat memenuhi permintaan gurunya. “Saya memikirkan penyelidikan kebenaran, bukannya soal-soal kewibawaan pribadi”, demikian Jung.

Sedangkan Freud berkata: ”Tetapi aku tidak boleh membahayakan kewibawaanku!” Sejak detik diucapkannya kalimat itu bagi Jung justru hilang kewibawaan Freud sarjana besar yang pada mulanya disembah-sembahnya, sebagaimana anak kecil mengikuti bapaknya.

Tuhan berkali-kali mengingatkan hamba-Nya lewat perantaraan Utusannya, bahwa segala kejadian di dalam alam yang terbentang ini merupakan petunjuk/pelajaran bagi kita. Maka dengan melihat adegan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya di dalam hati Freud tidak rela untuk kehilangan kewibawaannya, sekali pun ini akan memperkosa kebenaran! Hal ini hendaknya merupakan pelajaran bagi kita semua dalam hubungan dengan watak rela.

Apabila kita hubungkan hal ini dengan uraian di atas, maka jelas sekali nampak salah satu segi dari kebenaran ucapan itu, sebab bukankah salah satu syarat pokok keilmiahan adalah: obyektivitas yang tidak kunjung padam? Ilmu tanpa obyektivitas sebenarnya bukan ilmu, karena tidak akan dapat memberikan sumbangan amalnya kepada masyarakat manusia yang baik. Demikian pula, tanpa rela menyerahkan segala yang kita miliki, segala cobaan terhadap diri kita kepada Tuhan, jangan diharapkan bahwa masalah-masalah di dunia ini akan menjadi jernih dan mudah diselesaikan.

Orang yang berusaha untuk mencampurkan pertimbangan-pertimbangan/keinginan-keinginan pribadinya ke dalam setiap kejadian, kenyataan atau peristiwa, maka masalah akan menjadi semakin ruwet, keruh dan akhirnya merugikan masyarakat itu seniri. Oleh karena itu, kita perlu berusaha memiliki watak rela, supaya semua masalah menjadi jernih dan mudah diselesaikan. ***

CATEGORIES
TAGS