Maraton di Korut dan Diplomasi Menlu AS

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

ilustrasi

ilustrasi

DUA hal menarik yang ditunjukkan oleh Korea Utara, awal pekan ini, di tengah ketegangan di Semenanjung Korea. Pertama, Korut menolak tawaran berdialog mengenai masa depan Kawasan Industri Kaesong, yang diajukan oleh Korea Selatan. Kedua, Korut menyelenggarakan lomba maraton, memeringati hari ulang tahun ke-101 pendiri Korea Utara, Kim Il Sung, kakek pemimpin negara itu, saat ini, Kim Jong Un. Lomba Maraton “Mangyongdae Prize” ke-26 itu, juga diikuti oleh peserta dari luar negeri.

Mengenai penolakan tawaran dialog, seorang juru bicara Komite Reunifikasi Damai Korut dalam wawancara dengan kantor berita pemerintah KCNA, yang dikutip oleh Antaranews.com, Senin (15/4), mengatakan, kami melihat tawaran itu satu tindakan kosong dan tidak berarti. Jubir itu melanjutkan, jika Korsel benar-benar tulus melakukan perundingan, negara itu terlebih dulu harus meninggalkan sikap konfrontatifnya.

Sebelumnya, dua pekan lalu, Korut menutup akses ke Kawasan Industri Kaesong, proyek kerja sama Korea Selatan dan Korea Utara. Di kawasan itu, sekitar 123 perusahaan Korsel beroperasi, mempekerjakan 53.000 warga Korea Utara. Maka, proyek Kaesong, yang dibangun pada 2004, sering disebut sebagai sarana untuk melincinkan jalan menuju rekonsiliasi dan reunifikasi dua Korea.

Terkait dengan upaya menurunkan ketegangan di Semenanjung Korea, Menlu Amerika Serikat, John Kerry, mengadakan perjalanan yang rada panjang, pekan lalu. Sebelum menjajal diplomasi dengan pejabat penting di Beijing dan Tokyo, Kerry mengunjungi Seoul. Menlu AS, pengganti Hillary Clinton itu, tiba di ibu kota Korea Selatan, Jumat (12/4/2013).

Pernyataan Menlu AS itu, yang kemudian menempati “halaman” utama media massa global adalah Korut tidak akan pernah diterima sebagai negara nuklir. Pada sisi lain, Kerry juga mengatakan, retorika yang dilancarkan Korut, terutama ancaman serangan terhadap Korsel dan AS, belakangan ini, “tidak bisa diterima.”

Dalam konferensi pers di Seoul, dia berkata: ”Amerika Serikat, Korea Selatan, dan komunitas internasional, bersatu dalam fakta bahwa Korut tak akan diterima sebagai negara nuklir. Katanya, retorika dari Korut tak bisa diterima dengan standar apa pun dan AS akan membela sekutu-sekutunya jika diperlukan.”

Menlu Kerry juga mengatakan, AS siap mengadakan dialog dengan Korut, jika negara itu serius mengenai perluncutan senjata nuklir. Sebelumnya, Korut mengeluarkan ancaman yang cukup keras, yakni siap berperang melawan Korsel dan sekutunya, AS, setelah AS dan Korsel melakukan latihan militer bersama dan DK PBB mengeluarkan sanksi baru terkait peluncuran senjata nuklir Korut, pada Februari lalu.

Komitmen AS – China

Yang ditunggu-tunggu dari kunjungan Menlu AS di Seoul adalah hasil pembicarannya dengan Presiden Korsel Park Geun-hye serta komandan militer AS yang ditempatkan di negara ginseng itu. Sejauh itu, tidak diperoleh rincian mengenai hasil pertemuan tersebut.

Satu hari kemudian, tepatnya Sabtu (13/4), Kerry sudah berada di Beijing, China. Nah, pernyataannya yang cukup menggelegar adalah, AS dan China sudah sepakat untuk bekerja sama dengan cara damai membebaskan Semenanjung Korea dari persenjataan nuklir. Kedua negara juga sepakat, langkah ini sangat penting untuk stabilitas kawasan dan dunia, serta untuk seluruh upaya non-proliferasi. Begitu dikemukakan Kerry yang didampingi Penasihan Negara, Yang Jiechi.

Perkembangan di Semenanjung Korea, beberapa hari belakangan ini, boleh dikatakan lebih “dingin” dibandingkan dengan suasana sebelumnya. Kita mencatat, peringatan Korut agar kedutaan asing menarik stafnya dari Pyongyang, karena negara itu tidak menjamin keselamatan mereka setelah 10 April. Tapi, peringatan itu tak digubris oleh berbagai negara. Para pejabat AS dilaporkan bersikap tenang, dengan mengatakan, Gedung Putih dan Pentagon tak yakin akan setiap ancaman Korut terhadap AS atau sekutu-sekutunya sudah dekat.

Kementerian Luar Negeri Inggris juga menyatakan tidak berniat mengevakuasi stafnya. Bahkan, Inggris mengatakan, Korea Utara memiliki tanggung jawab di bawah Konvensi Wina yang melindungi misi diplomatik. Sementara itu, Juru Bicara kedutaan Rusia di Pyongyang, Denis Samsonov, mengatakan, Rusia tidak berencana untuk mengevakuasi stafnya, karena tidak ada tanda-tanda ketegangan di ibu kota Korea Utara itu.

Memang tidak terjadi hal yang dikhawatirkan itu dan diplomat asing tetap menempati posnya di Pyongyang. Itu kenyataan yang berlangsung hingga Senin (15/4). Tapi, hal itu belum menjadi pertanda bahwa situasi di Semenanjung Korea mengarah ke kembali normal. Pastinya, semua negara, terutama yang teritorialnya tidak jauh dari kawasan konflik, mengharapkan semua pihak yang terlibat dalam panasnya situasi di Korea, menahan diri. Isu hangat hendaknya dipecahkan lewat jalan dialog dan konsultasi.

Diharapkan, China, sebagai sekutu Korut mengambil peran utama, agar situasi di Semenanjung kembali normal. Bila memungkinkan dibuka lagi pintu untuk membicarakan rekonsiliasi dan penyatuan kembali dua Korea. Kelengkapan atau organisasi untuk mewujudkan reunifikasi masih tersedia di kedua negara itu. Yang dibutuhkan adalah peranan signifikan para sekutu untuk membawa kedua Korea ke wilayah dialog, sehingga pintu perdamaian terkuak lebar.

Kita juga berharap, lomba maraton di Korut diiikuti pula oleh pergelaran seni-budaya, sebagai jembatan mendinginkan suasana. Di berbagai belahan dunia, panggung olahraga dan seni-budaya menjadi modal utama untuk menjalin persahabatan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS