Site icon TubasMedia.com

Mari Kita Bangun Negeri Ini dengan Rupiah Murni

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

 

JANGAN sakiti daku terus menerus. Aku memang sosok yang lemah. Tapi jangan jadikan titik lemah ini untuk terus menerus dijadikan obyek casino capitalism. Jadikan diriku  sosok yang kuat atau sebagai subyek sumber daya pembangunan di negeri ini sehingga sosokku menjadi berdaulat di tanah airku tercinta.

Beginilah nasib rupiah kini. Semoga ke depamnya nilai tukar rupiah makin kuat dan berdaya. Percayalah kita bisa mengubah posturnya yang lemah menjadi kuat asal kita tidak setengah hati memanfaatkannya untuk kebaikan dan kebijakan, bukan dipakai untuk dipertandingkan di pasar keuangan yang sarat dengan praktek casino capitalism.

Rupiah dicetak, diedarkan dan digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif, bukan untuk dipakai sebagai instrumen aksi spekulasi dan aksi ambil untung di pasar spot pada institusi pasar keuangan.

Rupiah dicetak, diedarkan dan dimanfaatkan untuk sumber dana pembangunan di negeri ini. Kita rela menabung dan mendepositokan rupiah karena masyarakat tahu bahwa tabungan dan deposito adalah sumber dana investasi untuk membangun infrastruktur, industri, pertanian dan maritim.

Karena itu, penulis mencoba sharing yang arahnya lebih berpikir pada pendekatan mengutamakan kepentingan nasional ketimbang berpikir dengan pendekatan globalisasi dan liberalisasi, sehingga kita terjebak menjadi dibudakin dolar AS dan valas kuat lainnya untuk membangun negeri ini di sektor-sektor tadi.

Rupiah kita himpun untuk Invesment Fund agar membangun tidak bergantung pada sumber dana valas. Likuiditas rupiah lebih dari cukup untuk membangun ekonomi negeri ini sebagai invesment fund. Yang jadi masalah ketika rupiah dihimpun oleh sektor perbankan nilai jualnya sebagai sumber dana investasi dibuat mahal karena terkait ambisi menciptakan Net Interest Margin(NIM)  yang tinggi.

NIM yang tinggi memang dilakukan by design agar menarik bagi investor asing tertarik membeli saham perbankan nasional di pasar modal maupun melalui direct selling atau akuisisi. Inilah orientasi bisnis perbankan nasional hingga kini. Yang membuat penasaran adalah ketika kita berpikir konstruktif agar Indonesia mempunyai Bank Pembangunan, dan dalam UU nomor 3/2014 tentang perindustrian yang mengamanatkan perlu membentuk lembaga pembiayaan pembangunan industri tak kunjung lahir.

Tidak Jelas

Padahal amanat itu sudah berumur 4 tahun sejak diundangkan. Pernah diinisiasi oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh kemenkeu untuk membentuk Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia (LPPI). Tapi sayang kelanjutannya tidak jelas, dan terkesan seperti tidak perlu mempunyai lembaga pembiayaan pembangunan yang kredibel di negeri ini, padahal kita masih terus akan membangun infrastruktur, industri, pertanian dan sektor maritim sebagai prioritas nasional.

Inilah invesment fund. Sayangnya kita belum punya. Rupiah terkapar salah satunya kita berpendapat karena ada persoalan saving invesment gap sehingga gap-nya ditutup dengan pinjaman luar negeri. Gap ditutup tidak dengan cara memupuk dana masyarakat untuk dijadikan Invesment Fund atau dengan cetak uang, tapi pengikut madzab kapitalisme dan liberalisme lebih memilih menciptakan utang untuk membangun, yang berarti “mengorbankan” nasionalisme atau kepentingan nasional sehingga rupiah tak berdaya.

Ini adalah persoalan ekonomi politik dan sekaligus persoalan politik ekonomi nasional. Sebab itu, sudah waktunya pemerintah perlu membentuk invesment fund. Jangan serahkan urusan ini kepada kementrian BUMN, tapi lebih baik di take over langsung oleh presiden sebagai CEO negara.

Membentuk invesment fund atau LPPI sudah bersifat mendesak karena perbankan tidak tertarik menangani proyek-proyek pembangunan jangka panjang yang membutuhkan pembiayaan berjumlah besar, mempunyai imbal hasil yang rendah dan/atau beresiko tinggi.

Invesment fund dapat memobilisasi rupiah untuk sumber dana investasi, bisa dari dana masyarakat atau dana milik institusi. Mereka adalah menjadi investor bukan penabung. Jika tetap ingin menabung, maka dananya bisa disimpan di perbankan. Di republik ini berarti perlu ada lembaga pembiayaan dan lembaga intermediasi. Permintaan rupiah sangat tinggi.Contoh untuk mbangun infrastruktur di Indonesia saja dari tahun 2015-2019 butuh dana Rp 5.000 trilun lebih. Belum lagi proyek -proyek di Pertamina, PLN dan lain-lain butuh rupiah dalam ribuan triliun rupiah juga.

Kita jangan distigma terbalik bahwa permintaan valas tinggi karena kita butuh dana valas untuk mbangun. Ini pikiran kapitalis global. Kalau pikiran nasionalis tulen, akan berkata bahwa kita butuh rupiah dalam jumlah besar untuk membangun.

Kalau ada gap jangan buru-buru mau utang. Produksi saja uang. Sama saja ketika kita kekurangan stok bahan pangan jangan buru-buru berkata buka kran impor, tapi yang benar adalah tingkatkan produksi bahan pangan. Kekeliuran berpikir semacam itu perlu di tata ulang. Memproduksi uang, barang dan jasa untuk menambah pasokan dan untuk menutup gap supply and demand adalah nalar yang waras untuk menjaga pasokan dan stabilitas.

Menjadi tidak benar dan bernalar kapitalis yang menjadi salah ketika menambah produksi bisa berefek pada inflasi. Hidden agenda para kapitalis dan liberalis adalah selalu menganjurkan agar kalau ada gap dalam pasokan maka berhutanglah pada negara kaya dalam valas term dan bukalah impor sebesar-besarnya agar pasokan uang, barang dan jasa di negara anda stabil. Monggo yang keliru diperbaiki dan yang sudah baik ditingkatkan agar semakin baik.

Terkait dengan pikiran-pikiran tersebut maka mari kita bangun negeri ini dengan rupiah murni. Kita bangun invesment fund di pusat dan di daerah yang sumber dananya rupiah karena kita butuh rupiah dalam jumlah besar untuk mbangun infrastruktur, pabrik atau industri, pertanian dan perkebunan serta sektor maritim dan sektor pariwisata.

Pegang rupiah tidak akan rugi kalau didayagunakan dengan baik dan benar yang dikelola dengan cara tata kelola yang baik dan benar. Ada Jawa Invesment Fund, Sumatera Invesment Fund, Kalimantan invesment Fund, Sulawesi Invesment Fund, Papuan dan Maluku Invesment Fund, serta Bali dan Nusatenggara Invesment Fund.

Jangan mimpi membangun negeri ini dengan APBN atau APBD, nggak akan pernah cukup. Tapi jangan bangun negeri dengan dolar AS atau valas lain yang kuat, namun bangunlah dengan rupiah murni. Apa cukup, jawabannya adalah pasti cukup. Kalau tidak cukup tambah produksinya. (penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri)

Exit mobile version