Masih Perlukah Wamen?

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

PERTANYAAN yang menjadi judul tulisan ini adalah merupakan pertanyaan yang masih menggelantung hingga saat ini, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pengangkatan Wakil Menteri (Wamen) bertentangan dengan UUD 45 sehingga terpaksa dinonaktifkan.

Putusan sidang MK, Selasa (5/6) itu terkait penjelasan Pasal 10 UU 39/2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan jabatan wakil menteri merupakan ’pejabat karier dan bukan anggota cabinet,’ adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan jelas menggambarkan adanya tata kelola sistem pemerintahan yang keliru melalui produk hukum kenegaraan di pusat kekuasaan.

Dengan demikian, para wakil menteri yang berjumlah 20 orang itu, harus diberhentikan demi kepatuhan menjalankan tatanan hukum bernegara sebagai konsekuensi dari putusan MK tersebut. Bahkan ada suara menyatakan sebaiknya Presiden SBY memecat semua wamen.

Banyak juga suara yang menyatakan kalau jabatan wamen sebenarnya tidak diperlukan mengingat sejauh ini kaidah manajemen birokrasi pada institusi kementerian sangat memadai yang dibuktikan dengan kelengkapan para direktur jenderal dan sekretaris jenderal di bawah menteri, untuk mengoptimalkan seluruh agenda maupun pelayanan kelembagaannya terhadap kebutuhan publik.

Keberadaan wamen sebenarnya hanyalah membuat birokrasi pemerintah pusat menjadi kian gemuk dan tidak efisien dari sisi anggaran. Dengan melihat di beberapa kementerian yang terlalu banyak eselon I dan II pun, sudah saatnya pula dipangkas supaya tidak terlihat gemuk.

Dari sisi penampilan-pun, keberadaan wamen telah membuat kabinet atau ‘’postur’ masing-masing kementerian menjadi tambun, gembrot dan pasti jadi sulit untuk berlari.

Dari segi pembiayaan-pun, tanpa kita beberkan hitungannya secara rinci, sudah pasti membengkak. Pasalnya, seorang wamen pasti membentuk organisasinya di satu kementerian.. Sudah pasti pula organisasi itu membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit nilainya yang seharusnya tanpa biaya wamen itu, perjalanan sebuah kementerian tidak akan terganggu. Bahkan lebih ramping dan larinya juga kencang.

Mengamati keberadaan seorang wamen di satu kementerian, bisa dikatakan antara ada dan tiada. Dikatakan ada, mana karyanya dan jika dikatakan tidak ada, secara fisik ada koq.

Keberadaan wamen terlihat jelas ‘’bentrok’’ dengan sekjen apalagi jika sekjen dan wamen duduk bersanding bersama seluruh eselon satu dalam sebuah rapat kementerian atau jumpa pers misalnya.

Sekjen terlihat lebih memonopoli lalulintas percakapan sementara wamen duduk manis kalau tersinggung jika dikatakan bengong saja.

Ya, memang demikian. Secara penugasan di satu kementerian, untuk operasioanl sudah lebih dari cukup dipercayaan kepada eselon satu seperti para dirjen dan urusan adminstrasi dipercayakan kepada sekjen. Jadi sebenarnya hamper tidak ada tugas khusus atau pekerjaan yang harus ditangangis eorang wamen.

Psersoalannya, wamen itu kan merupakan jabatan ‘’hadiah’’ bagi kelompok-kelompok yang protes kalau dari kelompoknya tidak kebagian apa-apa saat pemerintah di bawah komando pasangan SBY-Boediono.

Seperti pernah diucapkan pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh Daulay bahwa posisi wamen di sebuah instansi pemerintah tidak jelas. Wewenangnya juga tidak jelas. Anggarannya tidak jelas. Tugas utamanya-pun tidak jelas.

Soal wewenang, wamen kelihatannya tidak punya otoritas apa-apa. Bahkan bisa jadi, kehadiran wamen bisa membuat para dirjen merasa tidak nyaman. Mereka merasa bahwa memiliki otoritas lebih tinggi dari wamen.***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS