Masyarakat Siap-siap Hadapi Banjir Besar

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan akhir Desember hingga awal tahun depan, curah hujan di seputar Jabodetabek dan Puncak Cianjur, masih tergolong tinggi. Bahkan, diperkirakan puncak banjir untuk Jakarta bisa terjadi pada skala dua bulan ke depan, sekitar Januari atau Februari 2014.

Untuk mengantisipasi ancaman serbuan air bah tersebut, maka warga masyarakat pun harus ikut ambil bagian dan punya tanggung jawab bersama untuk menjaga saluran air jangan sampai tersumbat oleh sampah atau endapan lumpur. Seperti ajakan Gubernur Joko Widodo dalam acara silaturahmi RT dan RW serta aparat kelurahan se-DKI Jakarta, 1 Desember lalu, perlu ada partisipasi warga dalam membangun kota secara bersama, agar punya rasa memiliki, memelihara dan merawat fasilitas kota yang ada.

Jokowi mengakui, saat ini saluran mikro maupun saluran penghubung sebanyak 884 buah, kondisinya tak terurus. Masih banyak tumpukan sampah, walaupun baru saja dibersihkan. Hal ini akibat kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan. Saluran air dan sungai-sungai masih dianggap sebagai bak sampah. Padahal yang menjadi korban luapan air kelak, adalah masyarakat pembuang sampah itu sendiri.

Di Jakarta sendiri, menurut Pusat Data Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ditengarai akan ada 62 lokasi rawan banjir selama musim hujan di akhir 2013 hingga awal 2014. Sehingga masyarakat di lokasi-lokasi yang sudah langganan rawan banjir, perlu waspada serta mengambil langkah antisipasi penyelamatan dari kondisi terburuk. Ibarat pepatah, harus sudah sedia payung sebelum hujan.

Sesungguhnya, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta telah mempersiapkan 10 langkah atasi banjir. Yakni pertama, membentuk satuan tugas (satgas) banjir di 42 kecamatan dan suku dinas. Pembentukan satgas jalan rusak. Penanganan 200 titik genangan. Pengerukan 160 saluran penghubung. Pengerukan 18 saluran submakro. Pengerukan 12 waduk. Normalisasi sungai di 80 titik. Perbaikan 73 pompa pengendali banjir. Perbaikan 62 pintu air, serta ke-10 melaksanakan pemasangan kamera pemantau di 130 rumah pompa.

Sebenarnya, bila dilihat dari persiapan 10 langkah seperti dilansir Kepala Dinas PU DKI Jakarta, Manggas Rudy Siahaan ini, masyarakat tidak perlu khawatir akan kejadian banjir bandang yang pernah melanda Jakarta beberapa tahun lampau. Namun, kondisi alam tidak bisa diprediksi, terutama disebabkan maraknya penguasaan lahan terbuka dan kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini.

Pengerukan saluran dan waduk pun, menurut Manggas, belum mencakup semua yang ada di Jakarta. Sehingga pengerjaan selebihnya baru akan dilakukan tahun 2014, seperti pengerukan 700-an saluran penghubung dan 64 waduk.

Ia juga mengakui kurangnya alat-alat berat, menyebabkan pengerukan saluran dan waduk belum maksimal. Hingga tahun 2012 lalu, DKI hanya memiliki enam unit alat berat. Namun tahun 2013 ini Dinas PU mendapat anggaran pengadaan 23 unit alat berat lewat APBD 2013, dan tambahan 50 unit lagi alat berat pada APBD Perubahan.

Sekalipun demikian, banyak juga lokasi yang tidak bisa dimasuki alat berat karena sudah padat permukiman. Seperti pengerukan saluran Kali Nipah di Jl Pulo Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang ditinjau Gubernur Jokowi bersama Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor, baru-baru ini, lebarnya kini hanya kurang dari 3 meter dengan air yang hitam penuh lumpur dan sampah. Di kali ini sedang berlangsung pengerukan. Namun, alat berat terkendala masuk ke lokasi karena rapatnya permukiman dekat kali.

Oleh karena itulah, masyarakat harus pula mematuhi aturan untuk bermukim di luar batas garis sempadan sungai atau saluran. Sehingga petugas atau alat berat pembersih saluran, tidak terhalang melakukan fungsinya.

Pengawasan Tata Ruang

Salah satu penyebab banjir yang makin meningkat akhir-akhir ini, adalah tidak ketatnya pengawasan tata ruang menurut peruntukannya. Seperti peralihan hutan lindung atau hutan konservasi menjadi bangunan-bangunan vila di daerah Puncak, sehingga tidak mampu menahan curah hujan serta hujan tidak bisa meresap ke dalam tanah. Akhirnya, air hujan langsung tumpah ruah ke daerah hilir Jabodetabek.

Demikian pula situ-situ, waduk, atau embung yang semula tersedia di hampir semua daerah-daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan bahkan di Jakarta sendiri, sebagai penampungan air sementara, ternyata telah ditimbun atau dialihkan fungsinya menjadi kawasan permukiman. Semua pembagian tata ruang yang jauh hari sudah dipikirkan manfaatnya oleh birokrat pada zaman kolonial, justru dirusak oleh birokrat pada masa kemerdekaan sekarang ini.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama baru-baru ini, dengan tegas meminta instansi terkait dari setingkat kepala dinas ataupun suku dinas, harus mampu bertindak tegas kepada pelanggar aturan tata ruang. Bawahannya diminta harus aktif dalam upaya pencegahan dan pengawasan di lapangan.

Ia mengatakan, pelanggaran tata ruang menjadi penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta. Namun, untuk mengembalikan tata ruang sesuai perencanaan yang telah dibuat, bukan pekerjaan mudah dan butuh waktu lama, terutama memindahkan orang-orang yang sempat menghuni lahan yang bukan peruntukannya. “Selama ini penegakan hukum lemah, sehingga warga menjadi tidak takut melanggar hukum. Makanya, semua instansi sekarang harus tegas,” katanya.

Sebenarnya, penertiban pelanggaran aturan tata ruang menjadi sulit, karena selama ini instansi yang berkepentingan seolah-olah membiarkan pelanggaran, tidak melarang atau mencegahnya sejak dini. Selain masyarakat berasumsi ada permainan kongkalikong dengan instansi terkait, tidak jarang pula pelanggaran seperti ini dijadikan proyek oleh instansi terkait untuk meminta adanya anggaran penertiban. Penertiban tidak dilakukan, kalau anggaran belum turun. Padahal pemberian izin, pengawasan dan penertiban sudah menjadi tanggung jawab aparat, seperti Dinas Tata Ruang, Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan, dan instansi lain termasuk Satuan Polisi Pamongpraja (Satpol PP).

Rabu (11/12) lalu DPRD DKI Jakarta telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi untuk wilayah DKI Jakarta tahun 2010 hingga 2030. Perda RDTR dan Peraturan Zonasi yang walaupun sudah terlambat disahkan ini, diharapkan bisa jadi alat pengendali serta mengontrol kemungkinan penyimpangan izin tata ruang yang terjadi selama ini. Dengan demikian, pelanggaran tata ruang yang menjadi penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta, bisa ditindak.

Pengesahan Perda RDTR dan Peraturan Zonasi 2010-2030 ini harus dijadikan momentum bagi Jokowi-Ahok untuk membenahi perizinan tata ruang yang selama ini disalahgunakan oleh instansi pemberi izin, bekerja sama dengan oknum pengusaha atau pemohon yang diuntungkan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS