“Matah Ati” Memukau Solo

Loading

Oleh: Willy Hangguman

Ilustrasi

SOLO kembali menjadi pusat perhatian. Kali ini, terkait dengan perhelatan budaya, yaitu pementasan drama tari Matah Ati di kota tersebut yang berlangsung 8-10 September 2012. Kegiatan itu sebagai pemuncak dari Konferensi Federation for Asia Cultural Promotion (FACP) yang diselenggarakan di Solo dengan peserta sekitar 500 orang dari 30 negara, 6-9 September lalu.

Tidak hanya masyarakat Solo yang menonton drama tari kolosal modern yang berbasis tradisi tersebut. Orang-orang Jakarta mendadak memilih liburan akhir pekan, bukan lagi ke Singapura atau Bali, tetapi ke Solo untuk menonton Matah Ati. Para sosialita Jakarta “menyerbu” kota tersebut. Tidak hanya dari Jakarta, penonton juga datang dari kota lain, seperti Bandung, Surabaya. dan Yogyakarta. Tak lupa peserta FACP yang berasal dari 30 negara.

Wali kota Solo Joko Widodo, yang biasa dipanggang Jokowi, tak ketinggalan ikut menonton, malah nonton sambil lesehan bersama masyarakat Solo di kelas festival pada hari pertama pementasan (8/9). Dalam tiga hari pementasannya, Matah Ati berhasil memukau Solo.

Drama tari Matah Ati pernah dipentaskan di Esplanade, Singapura, 22-23 Oktober 2010. Lalu, pada 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Akhirnya, Matah Ati pulang kampung ke Solo. Pementasan di Solo lebih istimewa dibandingkan dengan dua pementasan sebelumnya.

Lebih Kolosal

Atilah Soeryadjaya, cucu Mangkunegara VII, yang menjadi produser, sutradara, penulis naskah, dan perancang kostum, menjelaskan, pentas di Solo merupakan pentas outdoor pertama Matah Ati dan lebih kolosal. Sekitar 300 penari terlibat dalam pementasan itu.

Panggung didirikan di Pamedan Mangkunegaran, lebarnya 29,28 meter. Kedalaman panggung 34,16 meter, tiga kali lipat dibandingkan dengan dua pementasan sebelumnya. Panggung juga dibuat dengan kemiringan 15 derajat. “Itu adalah simbol bukit tempat Pangeran Mas Said melawan kolonial. Saya sudah datang ke bukit tersebut. Panggung dengan kemiringan itu juga bagus bagi penonton untuk menyaksikan pemain di panggung,” kata Atilah saat berbincang dengan pers, Minggu (9/9).

Maka, dengan tim kreatif yang mumpuni, Atilah Soeryadjaya mampu mempersembahkan suatu tontonan yang spektakuler, sekaligus bermakna. Ia mampu mengelola kesenian tradisi untuk ditampilkan dalam bahasa modern. Tradisional, tetapi modern, begitulah Matah Ati.

Matah Ati melibatkan seniman yang selama ini dikenal bergelut dengan seni tradisi, seperti, komposer Blacius Subono, koreografer dan penari Institut Seni Indonesia Surakarta, Daryono, Eko Supendi, Naryanto, dan Nanuk Rahayu. Jay Subyakto menjadi penata artistik dan Inet Leimena penata acara. Tim yang mumpuni berhasil menampilkan tontonan yang spektakuler dan menarik.

Pementasan tiga hari di Solo selalu dipadati penonton. Tiket untuk tiga hari pementasan sold out. Di kelas festival rakyat, setiap malam dipadati sekitar 4.000 penonton. Mereka dibagikan karcis gratis. “Ini persembahan saya untuk masyarakat Solo,” kata Atilah tentang penonton di kelas festival. Bahkan, tidak hanya itu. Sebuah layar lebar dipasang di luar tempat pementasan untuk mereka yang tidak kebagian tiket menonton.

Drama tari Matah Ati adalah kisah percintaan antara Pangeran Mas Said yang kemudian menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I dengan gadis desa bernama Rubiyah asal Desa Matah pertengahan abad ke-18. Rubiyah adalah perempuan yang setia mendampingi Pangeran Mas Said, yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyowo dalam perjuangan melawan kolonial. Pangeran menilai Rubiyah telah memberinya semangat dalam perjuangan dan kemudian memutuskan untuk menyuntingnya. Rubiyah menjadi istrinya dengan nama Bandoro Raden Ayu Kusuma Matah Ati.

Atilah mengatakan, drama tari tersebut lahir dari rasa prihatin dan mimpi. Ia prihatin karena Solo, kota yang kaya akan seni dan budaya, justru selalu diberitakan negatif. Ia ingin menghapus citra tersebut. Sejak itu, lahir mimpinya suatu waktu kelak akan mementaskan kesenian Solo di Singapura. Impiannya terwujud. Lahirlah Matah Ati setelah melalui proses kreatif selama 2,5 tahun.

Pementasan Matah Ati di Esplanade, Singapura, dan hal itu membuka mata dunia dan anak bangsa dalam negeri. FACP pun mulai memperhitungkan Indonesia dan Indonesia kemudian kembali menjadi anggota setelah 25 tahun vakum. Atilah pun terpilih sebagai governor FACP untuk Asia Pasifik. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS