Maukah Manusia Mengedepankan Kewajiban

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

HIDUP ini pada dasarnya selalu akan bertemu dua hal dan dalam dua kata yang berlawanan. Baik-buruk, hak-kewajiban, siang-malam, positif-negatif dan seterusnya. Manakala dua hal itu menjadi sebuah platform yang berbentuk fatwa, nasehat bijak dari para ulama, pendeta, biksu, guru, orang tua, para elit penguasa sebagai bagian inheren dalam proses pendidikan dan pengajaran, akan bisa kita tangkap pesannya.

Misalnya dikatakan bahwa melakukan kebaikan adalah sangat mulia dibandingkan jika melakukan sesuatu yang buruk dan akan menghasilkan kehancuran. Lakukan hal-hal yang positif, niscaya akan mendatangkan kemanfaatan dan tingggalkan fikiran negatif yang hasilnya tidak lebih hanya akan mendatangkan kecurigaan, sakwasangka dan hal-hal negatif lainnya.

Dalam konteks kehidupan nyata, perimbangan dua kutub kehidupan itu tidak selamanya dapat terjadi pada setiap orang, sekelompok orang, baik sebagai warga komunitas dan sekaligus sebagai sebuah bangsa. Apalagi posisinya diharapkan menjadi suatu yang ideal, di mana seratus persen kutub-kutub kehidupan yang selalu positif dan berisi kebaikan akan terjadi di sepanjang masa.

Dalam kehidupan nyata selalu terjadi disequilibrium dan ketika makin tidak terjaga titik keseimbangannya, maka mulailah terjadi berbagai bentuk gangguan dan problem kehidupan, baik dalam skala ringan sampai gangguan itu bersifat berat, seperti konflik sosial, premanisme bahkan terorisme.

Banyak faktor yang menjadi penyebabnya jika mau diurai satu persatu. Salah satunya tanpa disadari disebabkan karena manusia dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak mengedepankan “hak” daripada “kewajiban”. Hak untuk menguasai lahan, hak atas kekayaan, hak penguasaan tambang dan mineral, hak untuk tetap menjadi polisi dunia, dan lain-lain.

Hukum dan perundang-undangan yang mengatur kehidupan ekonomi, terutama yang rezimnya menganut faham liberalisme akan terbaca lebih banyak memberikan hak kepada pemodal dan sekaligus perlindungan atas investasi yang sudah ditanamkannya. Hak-hak pekerja terkesan dibatasi dan lebih banyak dituntut kewajibannya.

Kewajiban pemodal paling banter membayar pajak dan melaksanakan progam CSR. Membayar pajak pun tidak serta merta diterima penuh oleh pemerintah karena banyak fasilitas yang diterima oleh para pemodal, misal tax rabat, tax allowance, tax deductable, tax holiday dan lain-lain. Karena konsensi-konsensi atas hak lebih menonjol daripada konsensi-konsensi yang bernafaskan kewajiban, maka ketika disequalibrium terjadi dalam posisi yang ekstrim, mudah diduga akan mengundang terjadinya konflik sosial yang akut dan berpotensi menimbulkan kerugian material yang tidak kecil dan bahkan korban nyawa yang hilang karena terbunuh atau dibunuh demi “hak”.

Pada saat yang sama, ketika hal-hal yang berdimensi “kewajiban dibahas”, maka sikap manusia cenderung wait and see. Ach kewajiban lagi yang diomongin, nggak ada yang lain apa? Bagaimana dengan hak-hak kita? Coba jika sekiranya anda sebagai ketua RT atau sebagai lurah atau sebagai apa pun mengundang warga untuk membicarakan tentang “HAK”. Dijamin pasti akan banyak yang hadir karena agendanya bagi-bagi “hak” sebagai warga. Tapi kalau agendanya adalah bertopik tentang “kewajiban” warga, maka dijamin yang hadir tidak banyak. Kalaupun banyak yang hadir lebih banyak diwakilkan.

Contoh kewajiban warga untuk kerja bakti bersih-bersih got, ronda malam pasti lebih banyak yang malas hadir sendiri. Biasanya lebih banyak diwakilkan ke anaknya atau pembantu rumah tangganya. Kasus Mesuji beberapa waktu yang lalu, kasus di Kalianda baru-baru ini kalau dikaji baik-baik sebenarnya pangkal tolak masalahnya tidak jauh dari soal hak.

Di dunia ini tidak ada pertikaian, peperangan yang terjadi karena berebutan kewajiban. Yang banyak terjadi karena berebutan hak. Contoh di Asean adalah soal konflik di Laut China Selatan. Ini kan konflik tentang hak penguasaan suatu negara atas laut China selatan. Bukan konflik gara-gara pembagian kewajiban masing-masing negara di laut China Selatan.

Meski pun semuanya bisa diselesaikan di meja perundingan, tapi jika konfliknya benar-benar terjadi secara fisik, maka apa jadinya kawasan itu dan apa dampaknya bagi kehidupan. Semua pasti merugi, tapi coba kalau bagi-bagi kewajiban atas laut China selatan yang dilakukan, dampaknya sudah terbayang, semua negara yang berkepentingan pasti akan bisa saling menikmati hasilnya.

Karena itu, di dunia ini tidak ada lagi soal permainan yang bersifat zero sum game, yang ada adalah win-win. Mengapa harus demikian? Karena semua manusia berhak atas kehidupan di dunia. Dan semua manusia juga mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan ini. Tugas dan tanggung jawab semua manusia di dunia adalah menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Akan menjadi lebih mulia kalau manusia mampu mengelola lebih baik apa yang menjadi kewajibannya dari pada mengelola haknya. Inilah makanya, opini ini sengaja diberi judul “Bisakah Manusia Selalu Mengedepankan Kewajibannya”. Opini ini bukan hasil dari sebuah proses penelitian akademis, tapi lebih banyak mengandalkan kepada olah penalaran yang sehat dan bersifat instinktif.

Para pembaca boleh setuju boleh juga tidak dengan opini ini. Tapi penulis beharap jika sekiranya dapat dilakukan sebuah penelitian yang tema besarnya untuk menjawab premis dari opini penulis. Rumah tangga hancur karena perebutan hak. Invasi militer terjadi karena perebutan hak. Tidak ada yang hancur karena perebutan kewajiban, sebab kewajiban memang tidak akan pernah diperebutkan karena tidak “seksi” dalam kehidupan.

Tapi dia adalah bisa menjadi penyelamat kehidupan apalagi kalau dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa beban. Oleh sebab proses advokasi, edukasi dan mitigasi tentang pemahaman makna kewajiban dalam setiap aspek kehidupan menjadi penting. Banyak-banyak memenuhi kewajiban, mudah-mudahan hidup kita bisa selamat dunia dan akhirat.

Seluruh kitab agama sebagai way of life rasanya lebih banyak mengajarkan tentang kewajiban daripada hak kepada manusia. Kewajiban beribadah, kewajiban berzakat, berinfaq dan bersedekah, kewajiban silaturahim di antara sesama manusia, kewajiban hidup bersih karena bersih itu sebagian dari iman dan masih banyak lagi. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS