Membulatkan Kepercayaan pada Keadilan Tuhan (2)

Loading

Oleh: M. Koesim

Tulisan ke dua – habis

ilustrasi

ilustrasi

DALAM perkembangannnya analogi tersebut oleh sebagian besar umat yang belum memahami sebagai sesuatu yang nyata. Dari sinilah timbulnya dogma. Yaitu penjelasan tentang gambaran “hari kemarin” dan atau “hari esok” yang semula berupa kiasan/analogi yang kemudian diyakini sebagai sesuatu yang nyata.

Mari kita telah satu persatu, kita mulai dari keyakinan bahwa, “Tuhan Mahaadil.” Sifat Mahaadil Tuhan tersebut tentunya tidak main-main, seperti adilnya manusia yang masih dapat ditawar-tawar. Mahaadil Tuhan tidak dapat ditawar-tawar, ibarat kalau orang hutang harta harus dibayar harta, nyawa dengan nyawa, darah dengan darah. Jadi, apabila hutang harta dibayar nyawa atau darah itu tidak adil.

Sifat Mahaadil Tuhan ini dalam implementasinya di alam semesta menjadi hukum alam yang abadi yang mengatur semua aspek kehidupan alam semesta dan seisinya. Wujudnya adalah hukum sebab akibat, aksi reaksi, reward and punishment, matematika, kekekalan masa, energi dan sebagainya yang intinya menggambarkan keadaan yang adil dan seimbang. Untuk lebih memperjelas pengertian adil dan seimbang bahwa pada dasarnya masa yang membentuk alam semesta ini baik yang berwujud materi maupun non materi adalah seimbang, tidak berkurang jumlahnya.

Wujud materi adalah fisik yang kasatmata dan yang tidak kasat mata karena kecil dan halus sehingga diperlukan alat lain untuk melihat dan mendeteksi keberadaanya. Non materi semua yang tidak kasatmata dan tidak terdeteksi dengan alat, misalnya roh atau jiwa. Hakikatnya tidak ada yang hilang atau berkuang yang terjadi hanyalah berpindah tempat dann berubah bentuk.

Sekarang kita perhatikan gambaran fenomena dua cerita di atas. Apabila kita asumsikan bahwa kedua fenemena tersebut sebagai “akibat”, sebelumnya tentu ada “sebab”. Kalau diibaratkan kejadian itu adalah “saat membayar”, tentunya sebelumnya ada kejadian “saat berhutang”. Kapankah itu? Kita tidak dapat mengetahuinya karena tingkat kesadaran kita pada umumnya masih terbatas pada kehidupan “hari ini”, tetapi logika kemanusiaan kita dapat menyakini bahwa pasti kejadian ‘saat berhutang’ itu pernah terjadi.

Oleh manusia yang telah mencapai puncak gunung kesadaran atau tingkat kesadaran kolektif, hal tersebut akan tampak jelas karena kesadarannya sudah mencakup “hari kemarin”, “hari ini” dan “hari esok”. Kalau diibaratkan bahwa “saat berhutang” itu terjadi di “hari kemarin” yang tidak dapat disadari karena keterbatasannya, maka penjelasan oleh manusia yang telah mencapai sadar kolektif kepada orang lain waktu itu adalah bahwa, “hari kemarin” itu menjadi rahasia Tuhan.

Sedangkan untuk kejadian “hari ini” adalah merupakan kehendak Tuhan yang disebut takdir. Apabila pemahaman tersebut kita selaraskan dengan pemahaman manusia yang mencapai sadar kolektif, kita akan dapat memahami bahwa ternyata takdir itu adalah wujud dari keadilan Tuhan.

Selanjutnya, bagaimana apabila “saat berhutang” itu kita lakukan pada saat sekarang atau “hari ini”? Dengan pemahaman atas konsep keadilan Tuhan tentunya “saat membayar” akan dan pasti terjadi pada “hari esok”. Kapankah itu? Kita tidak dapat mengetahui karena tingkat kesadaran kita masih terbatas pada “hari ini”. Untuk hutang riil yang saat berhutang dan saat membayarnya sama-sama kita sadari pada “hari ini” seperti kredit bank, mungkin kita dapat mengetahui kapan saat jatuh tempo saat membayarnya, meskipun kadangkala dapat meleset atau lupa.

Penjelasan atas saat membayar di “hari esok” oleh manusia yang telah mencapai sadar kolektif kepada umat awam yang tingkat kesadarannya masih terbatas “hari ini” sering dianalogkan dengan reward and punishment yang akan terjadi kelak setelah kita meninggal dunia di alam lain yang surga dan neraka, yang menjadi rahasia Tuhan.

Setelah kita memahami “saat berhutang”, “saat membayar”, “hari esok” lantas di mana semuanya itu terjadi? Dengan meyakini hukum keadilan dan keseimbangan alam, di mana bahwa masa alam semesta ini adalah kekal tidak ada yang hilang, yang ada hanya berpindah tempat dan berubah bentuk. Juga bukti-bukti empiris seperti contoh fenomena gambaran kehidupan sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa semuanya adalah nyata dan terjadi di alam semesta ini. Jadi, untuk itu mutlak harus ada kelahiran kembali. Oleh karenanya keyakinan akan “Keadilan Tuhan” bagi manusia umumnya seperti kita yang tingkat kesadarannya masih di “hari ini”, tidak akan pernah menjadi “bulat” apabila tidak menyakini adanya “kelahiran kembali”. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS