Menanggulangi Banjir Jakarta, Mengapa Harus Menunggu Sampai Tahun 2017?

Loading

Oleh: Anthon P Sinaga

ilustrasi

ilustrasi

MASALAH banjir yang terjadi di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya sejak akhir tahun 2013 hingga awal tahun 2014 ini, sebenarnya sudah tergolong bencana nasional, karena menyangkut Ibukota negara, sebagai pusat pemerintahan, pusat niaga dan perekonomian, serta pusat kegiatan-kegiatan sosial. Sehingga untuk menanggulanginya, haruslah secara cepat dan tidak perlu harus menunggu sampai tahun 2017. Sampai awal tahun 2014 ini, korban dampak banjir sudah sungguh luar biasa.

Secara psikologis, sosialisasi dan pembebasan lahan untuk penanggulangan banjir, bisa lebih mudah dilakukan pada suasana keprihatinan yang masih hangat saat ini. Sementara biaya pembangunan sarana dan prasarana untuk mengatasi banjir, kiranya bisa didahulukan dari anggaran darurat APBN, untuk kemudian diganti kembali dari mata anggaran definitif yang menyusul kemudian. Lagipula, periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR RI sudah akan berakhir pada tahun 2014 ini juga.

Rencana aksi penanggulangan banjir Ibukota Jakarta memang telah diputuskan Senin (22/1) lalu di sebuah ruangan sempit dekat Bendung Katulampa Bogor. Yakni membangun dua waduk baru di Ciawi, tepatnya di Cipayung, Megamendung, Kabupaten Bogor dan di Sukatani, Tapos, Kota Depok, untuk mengurangi limpasan air dari hulu Jawa Barat.

Direncanakan, waduk di Megamendung itu seluas 119 hektare dan waduk Sukatani seluas 48 hektare, yang kelak mampu menampung jutaan meter kubik air. Namun, untuk mewujudkannya masih menunggu waktu lama.

Dana untuk pembebasan lahan sudah ditetapkan menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan pembangunan fisik waduk dibiayai Kementerian Pekerjaan Umum. Pemerintah Provinsi Jawa Barat selaku pemilik wilayah, hanya ditugasi untuk melakukan sosialisasi kepada penduduk yang akan terkena pembebasan.

Melihat dari rencana aksi ini yang melibatkan Kementerian PU mewakili pusat dan pemerintah daerah yang meliputi DKI Jakarta dan Pemprov Jawa Barat, (sayang tidak dihadiri wakil daerah Provinsi Banten) dan juga dihadiri Menteri Lingkungan Hidup, sebenarnya sudah bisa menjadi jaminan bahwa proyek ini akan dikerjakan sungguh-sungguh.

Masih Menunggu Tahun 2017

Akan tetapi, karena menurut keterangan pihak Kementeria PU; bahwa pembangunan fisik waduknya baru akan dilaksanakan tahun 2015 sampai 2017, maka harapan segera bebas banjir baru bisa dirasakan setelah tahun 2017. Berarti, minimal empat tahun lagi, para korban banjir di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi (Jadetabek) masih harus mengalami derita di tempat pengungsian. Ini pun kalau janji pihak Kementerian PU bisa ditepati dan pembebasan lahan oleh Pemprov DKI yang dibantu sosialisasi oleh Pemprov Jawa Barat bisa berjalan lancar.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa penderitaan ini masih harus ditanggung berlarut-larut, padahal kerugian yang ditanggung masyarakat mungkin sudah setara dengan dana pembangunan proyek penanggulangan banjir tersebu. Sudah dapat dipastikan setiap akhir tahun hingga awal tahun berikutnya, ancaman banjir di Jabodetabek terus berulang. Berarti, dalam tigakali peralihan tahun ke depan, pemerintah daerah dan badan-badan penanggulangan bencana masih harus siap-siap “kebakaran jenggot” untuk mengurusi evakuasi, logistik dan tempat pengungsian. Dan rakyat Indonesia, khususnya yang berdiam sepanjang daerah aliran Sungai Ciliwung sampai Waduk Pluit masih harus berlama-lama menanggung kerugian material, penderitaan fisik dan bathin.

Pemprov DKI sudah memastikan dan menyetujui pembebasan lahan untuk kedua waduk ini akan menelan biaya Rp 1,2 triliun. Rencana pembebasan dilakukan tahun 2014 hingga tahun 2015. APBD DKI Jakarta untuk tahun 2014 ini syukur sudah disahkan DPRD DKI Jakarta, sehingga dana awal Rp 200 miliar untuk pembebasan lahan sudah bisa segera dicairkan. Diharapkan pada APBD Perubahan di pertengahan tahun 2014 bisa bertambah besar lagi, dan selebihnya akan dituntaskan pada APBD DKI Jakarta tahun 2015. Namun, dalam keadaan darurat, dana untuk pembebasan lahan ini tentu bisa dipercepat, bila disetujui DPRD DKI yang selama ini mengkritik eksekutif kurang cepat mengatasi banjir.

Selain kedua waduk baru tersebut, direncanakan pula pengalihan aliran sebagian air Sungai Ciliwung melalui sodetan di bawah tanah ke Sungai Cisadane, Tangerang. Hal ini akan dikerjakan pihak Kementerian Pekerjaan Umum. Sodetan ini akan dibangun mulai tahun 2015 berupa terowongan sepanjang 2,9 kilometer dengan pintu air di kedua ujung. Namun untuk merealisasikan sodetan ini masih perlu pendekatan kepada Bupati dan Wali Kota Tangerang yang keberatan karena dianggap hanya memindahkan banjir ke sana. Sebenarnya jalan keluarnya adalah sodetan bisa dibuat, tetapi harus dilakukan pula revitalisasi dan normalisasi Sungai Cisadane yang saat ini juga parah.

Menurut data dari Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PU yang mengurusi semua sungai-sungai di Indonesia, kapasitas debit air Sungai Cisadane sebanyak 1.900 meter kubik per detik. Tentu dalam keadaan normal dan tidak ada penyempitan dan pendangkalan. Pada saat banjir seperti sekarang ini debitnya hanya 1.250 meter kubik per detik, sehingga secara teori, masih bisa dialirkan lagi dari Sungai Ciliwung sekitar 600 meter kubik per detik. Namun, karena melihat kondisi Cisadane yang belum dinormalisasi, maka yang dialirkan dari Ciliwung hanya 200 meter kubik per detik. Itupun bisa diatur kalau perlu saja, karena di kedua ujung sodetan akan dibangun pintu air yang bisa dibuka-tutup.

Sebelumnya juga, tepatnya 20 Januari tahun 2013 pada saat ancaman banjir tahun lalu, sebenarnya sudah disepakati Kementerian PU akan membangun sodetan dari Sungai Ciliwung ke BKT (Banjir Kanal Timur). Sodetan ini juga berupa terowongan di bawah tanah dari Kampung Melayu-Otto Iskandar Dinata tembus Cipinang. Tetapi hingga kini belum terwujud, sehingga diingatkan kembali, agar proyek ini dilaksanakan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS