Mendesak, Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Jakarta

Loading

Oleh: Anthon P.Sinaga

Anthon P.Sinaga

Anthon P.Sinaga

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta sudah mempersiapkan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pelayanan terpadu satu pintu dalam rangka percepatan pemberian izin dan non-izin berusaha di Jakarta. Namun sayangnya, justru DPRD DKI Jakarta masih keberatan membahas Raperda tersebut untuk segera disetujui menjadi Perda. Padahal, Perda tentang pelayanan terpadu satu pintu ini sudah mendesak untuk memangkas proses perizinan yang panjang, berbelit-belit, dan berbiaya tinggi, yang dikeluhkan masyarakat, yang adalah konstituen DPRD DKI Jakarta. Mengapa DPRD DKI keberatan? Alasannya, masih minim masukan.

Dalam rubrik sorotan Tunas Bangsa edisi 21-28 Mei yang lalu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sudah menyatakan pentingnya segera diwujudkan pelayanan izin terpadu satu pintu untuk menyikapi pernyataan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang waktu itu masih dijabat Chatib Basri yang kini Menteri Keuangan. Chatib ketika berkunjung ke Balaikota mengatakan, Jakarta termasuk dalam lima besar tujuan investasi di Indonesia. Sayangnya, salah satu penghambat investasi di Jakarta, baik asing maupun domestik, adalah rumitnya pengurusan perizinan.

Sesungguhnya, tidak hanya pelayanan perizinan untuk penanaman modal yang berbelit, tetapi juga pelayanan permohonan izin membuka usaha, izin mendirikan bangunan, izin restoran dan perizinan lainnya. Pada kenyataannya, urusannya amat ribet, dan mungkin sengaja dipersulit di Jakarta, untuk maksud-maksud tersembunyi. Termasuk, pejabat dan pegawai yang tidak ada di tempat, seperti pada inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Jokowi ke Kantor Suku Dinas (Sudin) Koperasi dan UKM Jakarta Timur, hari Jumat (18/10) yang lalu. Masyarakat yang akan mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) menjadi tidak terlayani.

Jokowi hari itu sempat marah-marah dan Wali Kota Jakarta Timur, Krisdianto menjadi sasaran kemarahan. “Kenapa warga pakai Biro Jasa, karena pelayanan pejabat, lama. Masak membuat SIUP dan tanda daftar perusahaan bisa sampai tiga hari? Idealnya, sejam saja. Cuma mengetik beberapa kalimat, tanda tangan Kepala Sudin, selesai! Jangan terpaku pada prosedur standar tiga hari. Kalau bisa sejam, kenapa tidak?” kata Jokowi waktu itu dengan nada tinggi. Selain intansi Pemda, Jokowi perlu juga sidak ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, untuk mempelancar urusan surat-surat tanah yang lama dan rumit.

Sebenarnya, Pemprov DKI Jakarta sudah pernah memelopori terbentuknya pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) sejak tahun 2007. Tetapi seperti dikatakan Kepala PTSP DKI Jakarta waktu itu, pihaknya hanya memeriksa berkas permohonan izin yang disampaikan masyarakat, sedangkan proses pelayanan perizinan tetap ditangani dinas terkait sesuai jenis perizinan. Tampaknya, dinas-dinas ini tidak mau kehilangan rezeki. “Kalau bisa dipersulit, kenapa dibikin mudah,” ini salah satu gelagat pelaku birokrasi selama ini, untuk meminta pungutan liar (pungli).

Dalam pertemuannya dengan Chatib Basri waktu itu, Jokowi sudah berjanji akan mereformasi meja-meja perizinan. Harus ada lembaga yang jelas mengurusi perizinan. Bentuknya Badan, bukan hanya unit pelaksana teknis (UPT), semacam kantor PTSP sekarang ini. Ia mengatakan, Pemprov DKI Jakarta tengah memproses pembentukan badan yang mengurusi pelayananan izin terpadu satu pintu, dengan DPRD DKI Jakarta.

“Sebetulnya soal perizinan ini tidak sulit. Orang datang, tinggal dicatat namanya, disuruh tanda tangan, lalu isi formulir. Semua diintegrasikan dalam satu kantor. Ada pembatasan waktu yang ditentukan. Misalnya, mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) cukup 7 hari selesai. Kalau pelayanan masih buruk, diperbaiki. Kalau masih terlalu lama, copot orangnya, diganti,” kata Jokowi. Teorinya memang gampang, tapi praktiknya para pelaku birokrasi di Jakarta sudah terbiasa “minta dilayani”.

Mengapa DPRD Keberatan?

Kepala Biro Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) Provinsi DKI Jakarta, Larso Marbun mengatakan, sebenarnya Raperda tentang pelayanan terpadu satu pintu ini sudah tiga kali dibahas bersama Badan Legislasi dan Komisi di DPRD DKI Jakarta. Sosialisasi juga sudah pernah digelar bersama DPRD DKI, sehingga tidak jelas mengapa masih ditunda, dan belum ada agenda sidang paripurna untuk mengesahkan persetujuan Raperda tersebut.

Kepada salah satu media Ibukota, hari Rabu (23/10), Larso mengatakan, pihaknya juga sudah menyetujui ajakan DPRD DKI Jakarta untuk melakukan studi banding ke Bandung, sebagai bagian pembahasan Raperda. Mudah-mudahan selesai studi itu, Raperda dapat disahkan menjadi Perda. Namun, atas arahan Gubernur Jokowi dan Wagub Basuki, Larso dengan tegas mengatakan, pihaknya tidak akan melayani proses pembahasan Raperda di bawah tangan. Proses tersebut, kata Larso, diawasi terus oleh KPK.

“Walaupun ada yang mencoba menghubungi saya, proses pembahasan tetap kami lakukan sesuai prosedur. Kami tidak mau keluar dari koridor hukum, karena setiap saat KPK memantau proses ini,” kata Larso. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dalam kesempatan terpisah juga menegaskan, tidak akan melayani proses di bawah tangan terkait pembahasan Raperda. Persoalan sekarang, kata Basuki, ada di tangan DPRD DKI.

“Ada kepentingan yang tidak bisa kami ceritakan di sini, Kami tetap prosedural,” kata Basuki, seperti dikutip salah satu media Ibukota, hari Rabu (23/10) di Jakarta.

Apa maksudnya proses pembahasan di bawah tangan? Baik Kepala Biro Ortala DKI Larso, maupun Wagub Basuki, tidak mau mengungkap secara rinci. Seharusnya yang keberatan adalah dinas-dinas yang merasa rezekinya akan hilang. DPRD DKI Jakarta perlu menjelaskan prosedur di bawah tangan ini, agar masyarakat tidak salah tafsir, apalagi saat ini sudah dekat-dekat waktunya mengumpulkan dana untuk kampanye Pemilu Legislatif. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS