Mendidik Diri Menuju Dewasa

Loading

Oleh: Markito

Ilustrasi

Ilustrasi

DALAM perkembangan kehidupan di dunia, manusia harus melalui pendidikan. Pendidikan itu sendiri bertingkat-tingkat; permulaan manusia memerlukan orang lain yang mendidiknya. Pada akhirnya ia tidak membutuhkan lagi perantaraan manusia, semakin dewasa ia harus dapat mendidik diri sendiri untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita hidupnya.

Dari kalimat-kalimat di atas kiranya jelas bahwa manusia itu pada suatu saat diharapkan akan sampai pada tingkatan di mana ia harus mendidik diri pribadi. Tingkatan inilah yang saya maksudkan dengan istilah “dewasa” dalam pokok tulisan ini. Menuju dewasa berarti bergerak (bergeser) ke arah tingkatan di mana orang harus mendidik diri pribadi. Soal-soal apa yang mempengaruhi pergerakan itu dan bagaimana pengaruhnya terhadap pergerakan tersebut serta terhadap tingkatan dewasa itu sendiri adalah tujuan dari tulisan ini.

Pertama-tama harus disadari bahwa kedewasaan tersebut hanya dapat dicapai dengan usaha, artinya merupakan suatu perbuatan (pekerjaan). Jadi, memerlukan suatu keaktifan, dan sama sekali bukan merupakan suatu keadaan yang begitu saja tercapai secara otomatis. Karena suatu usaha, maka seperti usaha-usaha yang lain, memerlukan ketekunan agar dapat berhasil baik. Diperlukan ketekunan sebab usaha tersebut sering menghadapi rintangan-rintangan yang tidak mudah diatasinya. Rintangan-rintangan itu makin berat apabila kita makin dekat pada tingkat dewasa, dan menjadi lebih berat lagi apabila sudah sampai pada tingkat dewasa itu sendiri.

Sampai di sini tentunya timbul pertanyaan, mengapa kedewasaan itu hanya dapat dicapai dengan usaha dan tidak tercapai dengan sendirinya? Bukankah setiap manusia itu dengan sendirinya akan sampai juga pada taraf dewasa itu?

Dalam alinea pertama tercantum kalimat sebagai berikut. “Permulaan manusia memerlukan orang lain yang mendidiknya.” Ini berarti bahwa diperlukan keaktifan untuk mengikuti atau mencontoh apa-apa yang disampaikan oleh yang mendidik. Keaktifan untuk mengikuti atau mencontoh itu adalah suatu usaha. Menaati apa yang dikatakan oleh yang mendidik itu pun sudah suatu usaha, untuk keaktifan.

Contoh yang jelas ialah apa yang terjadi dengan seorang murid. Si murid berusaha untuk melakukan petunjuk-petunjuk gurunya, berusaha memecahkan soal-soal yang diberikan kepadanya. Baru apabila demikian ada kemungkinan dia naik kelas. Tetapi tidak dapat kita bayangkan bahwa seorang murid dapat naik kelas secara otomatis tanpa berusaha (belajar). Tanpa berusaha dia akan tetap tidak mengerti seperti semula waktu dia baru masuk.

Jadi, jelas bahwa usaha itu diperlukan pada tingkatan di mana orang itu dididik oleh orang lain. Manusia itu tidak dapat langsung mendidik diri pribadi. Dalam tingkatan permulaan memerlukan orang lain untuk mendidiknya. Perhatikanlah apa yang terjadi pada anak-anak kecil. Anak-anak kecil itu tidak dapat mendidik dirinya sendiri, selalu mengikuti contoh yang diberikan orang tuanya ataupun kakak-kakaknya.

Ini pun suatu pendidikan (oleh orang lain) walaupun tidak disadari oleh yang mendidiknya. Jelaslah kini bahwa tingkat kedewasaan itu hanya dapat dicapai dengan usaha.

Meneliti sifat-sifat dari usaha itu diperlukan, apabila kita tidak ingin macet dalam perjalanan menuju dewasa itu. Soalnya di dalam pendidikan, seseorang yang dididik harus dapat melalui semua tingkatan dengan baik dan jangan macet dalam salah satu tingkatan.

Bagaimana sifat-sifat dari usaha yang dimaksudkan itu? Usaha tersebut adalah suatu usaha yang terus menerus, usaha yang tidak terputus-putus. Mengapa demikian? Oleh karena usaha tersebut baru selesai apabila tingkat yang tertinggi telah tercapai. Untuk mencapai tingkatan tertinggi kita tidak tahu kapan, selain usaha, ridha Tuhan juga kita perlukan. Untuk itu belajar tidak dapat berjalan sendiri tanpa doa.

Usaha tersebut juga selalu menghadapi rintangan-rintangan dan rintangan-rintangan ini makin lama makin berat. Apakah rintangan-rintangan itu? Apakah orang yang dididik oleh orang lain itu juga menghadapi rintangan-rintangan? Seperti kita ketahui orang yang dididik itu harus mengikuti petunjuk-petunjuk dari yang mendidik. Menaati petunjuk ini pada hakikatnya adalah mengurangi kemungkinan untuk melaksanakan keinginan-keinginan sendiri semau-maunya. Sebab petunjuk itu sedikit banyaknya merupakan suatu pembatasan, yaitu apa-apa yang disebutkan dalam petunjuk itu yang sebaiknya diikuti, sedang keinginan-keinginan yang menyimpang dari petunjuk tadi harus dikesampingkan.

Lalu rintangannya apa? Rintangan ialah terletak pada keinginan-keinginan yang harus dikesampingkan tadi. Keinginan-keinginan itu baru terasa sebagai rintangan apabila keinginan tadi termasuk godaan dari keinginan diri sendiri yang tidak sesuai dengan arah cita-cita.

Apabila telah sampai pada taraf mendidik diri pribadi apakah rintangan itu masih ada? Pada saat ini, seperti pada taraf sebelumnya, yang menentukan ialah apa yang menjadi pedoman hidupnya. Mendidik diri ke arah apa? Mendidik menjadi manusia yang memiliki intelektual yang tinggi serta berbudi pekerti yang luhur.

Untuk ini diperlukan syarat, syarat untuk dapat mendekatkan kita pada tujuan tadi. Syarat itu dapat terpenuhi apabila watak dapat sampai pada keutamaan, yaitu menjadi orang yang berhati tulus, ikhlas, sabar, jujur, tawakal. Memiliki watak utama dasar mencapai cita-cita selain belajar mengasah nalar untuk ilmu pengetahuan yang diminati. Tangga mencapainya manusia harus dapat mengendalikan diri; tidak berbuat yang tidak sesuai dengan cita-cita. Baik perilaku, perkataan dan pikiran harus dikendalikan.

Persoalan sekarang menjadi sebagai berikut: Apakah untuk mengendalikan diri menghadapi rintangan? Jawab dari pertanyaan ini adalah ya, memang kita menghadapi rintangan. Apa rintangan itu? Rintangan itu tidak lain ialah nafsu kita sendiri, nafsu yang tertuju untuk memuaskan makan, tidur, minum, sahwat.

Sebab nafsu ini yang mempertebal “Aku/Ego”, yang mencegah kita untuk dapat berbagi dengan orang lain dengan ikhlas, berbakti kepada Tuhan dan perbuatan baik lainnya. Jadi, pada taraf ini pun kembali kita dihadapi nafsu sendiri yangmenghadang kita di tengah jalan. Sedang nafsu ini memang tidak dapat kita hilangkan (matikan), tetapi nafsu ini dapat kita kuasai. Apabila dapat kita kuasai, maka nafsu ini akan membantu kita karena berubah menjadi nafsu yang mampu menahan penderitaan.

Oleh karena rintangan-rintangan tadi sumbernya pada nafsu kita sendiri maka diperlukan ketekunan dan ketabahan agar dapat berhasil. Ketekunan dan ketabahan untuk selalu menggagalkan godaan-godaan nafsu tadi dan berusaha mengubahnya ke arah nafsu yang dapat menanggung penderitaan.

Di atas telah disinggung bahwa rintangan-rintangan itu lebih-lebih beratnya apabila telah sampai pada taraf mendidik diri pribadi. Mengapa demikian? Sebab di sini, berbeda dengan taraf sebelumnya, tidak lagi ada orang lain yang mengawasi/mengontrol secara khusus apakah kita bertekuk lutut pada nafsu ataukah kita menguasai nafsu itu. Di sini kita mendapat kebebasan seluas-luasnya untuk bertindak, tidak lagi terdapat pembatasan-pembatasan yang diberikan orang lain seperti dahulu (pada taraf di mana kita masih dididik orang lain).

Oleh karena itulah kita harus selalu sadar pada Tuhan agar dapat menerima tuntunan-Nya. Sebab dunia luar itu antara lain merupakan alat pengoreksi dan pembanding. Pengoreksi apakah tindakan kita ini salah ataukah benar. Pembanding, apakah tindakan kita lebih jelek atau tidak. Salah atau benar, jelek apa tidak itu tergantung pada masing-masing pribadi.

Demikianlah mudah-mudahan tulisan ini dapat mendorong kita untuk terus berusaha mencapai manusia dewasa yang sebenarnya. ***

CATEGORIES
TAGS