Mengapa Harus Impor

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

ilustrasi

ilustrasi

IMPOR barang dan jasa adalah salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi. Selama kurun waktu delapan tahun terakhir (2005-2012), nisbah impor barang dan jasa terhadap PDB rata-rata mencapai 25% lebih. Angka ini jauh lebih rendah dari rata-rata di negara Asean lainnya dalam kurun waktu yang sama.

Realitasnya, Indonesia masih membutuhkan barang dan bahan impor dalam jumlah yang tidak kecil. Bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan industri dan investasi masih dipenuhi dari impor yang mencapai 70% lebih dari total impor Indonesia tiap tahun.

Impor barang konsumsi yang mencapai sekitar 10% lebih dari total impor juga masih dibutuhkan masyarakat di dalam negeri. Di luar itu, kita masih diresahkan maraknya penyelundupan yang masuk dari berbagai pintu pelabuhan, baik pelabuhan besar maupun pelabuhan kecil/tikus.

Fakta ini memberikan gambaran kepada kita bahwa pemerintah belum berhasil melakukan progam substitusi impor secara berarti meskipun progam hilirisasi dan P3DN sudah dilaunching sebagai progam nasional dalam beberapa tahun terakhir.

Dilematis memang. Dibendung nyatanya butuh. Tidak dikendalikan nyatanya selalu menjadi ancaman dalam defisit neraca perdagangan maupun defisit neraca transaksi berjalan. Data BPS Januari-April 2013, nilai impor Indonesia mencapai US$ 61,96 miliar. Sementara itu, nilai ekspornya hanya US$ 60,11 miliar, sehingga terjadi defisit US$ 1,85 miliar.

Negara eksportir terbesar ke Indonesia antara lain adalah Asean US$ 10,36 miliar; China US$ 9,07 miliar; Jepang US$ 6,52 miliar; Eropa US$ 4,73 miliar dan Thailand US$ 3,77 miliar. Dari sisi kebijakan, pemerintah memang cukup longgar dalam memfasilitasi masuknya barang dan bahan impor ke Indonesia dalam berbagai bentuk keringanan dan pembebasan bea masuk impor sebagaimana diatur dalam UU nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas UU nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Kelonggaran ini sekaligus mencerminkan bahwa dalam memacu pembangunan ekonomi di negeri ini, pemerintah menyadari bahwa pasokan impor tetap diperlukan untuk menjaga ketersediaan barang dan bahan di dalam negeri agar inflasinya dapat dikendalikan. Pada pasal 25 UU kepabeanan ada 16 item kelompok barang yang diberikan pembebasan bea masuk.

Di antaranya barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara dll. Di luar itu, pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal; mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu dll yang kesemuanya ada 11 kelompok barang dan bahan.

Ada lagi fasilitas penangguhan bea masuk untuk: 1) menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai,dikeluarkan ke tempat penimbunan berikat lainnya atau diekspor.2) menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.3) menimbun barang impor,dengan atau tanpa barang dan dalam daerah pabean ,guna dipamerkan.4) menimbun,menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang dan/atau orang tertentu.5) menimbun barang impor guna di lelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.6)menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean.7)menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

Barang impor yang dimasukkan ke tempat penimbunan berikat atau kawasan berikat untuk dipakai berupa barang yang telah diolah atau digabungkan,barang yang tidak diolah.Ketentuan tersebut pelaksanaannya diatur dalam Permenkeu dan Ditjen Bea Cukai.

Lepas dari itu dan apapun pertimbangannya fasilitas ini sebaiknya dapat dikaji ulang karena kemudahan-kemudahan yang diberikan melalui UU Kepabeanan fasilitas transaksi impor ini jauh lebih banyak diberikan dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan untuk keperluan transaksi di dalam negeri.

Yang patut dikaji antara lain adalah barang dan bahan impor yang masuk dalam tempat penimbunan berikat yang tidak diolah lebih lanjut tetapi kemudian masuk ke wilayah pabean Indonesia untuk dipakai atau diekspor. Artinya tidak ada nilai tambahnya sama sekali. Usaha semacam ini banyak dilakukan oleh pedagang atau importir yang investasinya hanya cukup membangun pergudangan, kemudian yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Ditjen BC untuk mendapatkan izin mengelola usaha gudang berikat.

Skema-skema semacam itu,dalam rangka menjamin kelancaran arus barang impor memang selaras dengan pelaksanaan FTA. Tetapi karena negara ini perlu mengamankan cadangan devisanya selain juga pengamanan neraca transaksi berjalan, maka seperti sudah disinggung, fasilitas yang ada selama ini dikaji ulang.

Pemerintah sebaiknya dapat mempertimbangkan adanya fasilitas untuk memperbesar transaksi di dalam negeri dalam rangka optimalisasi pelaksanaan progam P3DN maupun progam hilirisasi maupun progam yang lainnya. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS