Oleh: Marto Tobing

MENGAPA sindikat narkoba kemungkinan bisa saja “berterimakasih” pada hakim? Pertanyaan itu muncul karena siapa saja yang menyaksikan jalannya persidangan ketika terdakwa Yu Hong Yan (YHY), pada akhirnya dibebaskan hakim dari tuntutan jaksa 18 tahun penjara di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut), Kamis lalu (26/6). “Kemurahan” hakim ini tentu saja dapat dipahami sebagai sebab jika sindikat narkoba itu sangat berterimakasih atas “kebaikan” majelis hakim yang diketuai Anton Widyopriyono SH.
Upaya maksimal yang dilakukan baik oleh Satserse Narkoba Polres Jakut mau pun pihak Kejari Jakut atas syarat minimal dua alat bukti dikuatkan lagi atas keterangan sejumlah saksi di bawah sumpah, ternyata semua itu dimubazirkan oleh majelis hakim bersangkutan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wahyu SH pun tak habis pikir mengapa terdakwa Lai I Tsao (LIT) divonis 12 tahun penjara sementara terdakwa Yu Hong Yan dibebaskan.
Padahal saat Polisi melakukan tangkap tangan, dari kedua orang asing warga Negara Tiongkok ini ditemukan barang bukti sebanyak 6 kilogram narkoba jenis shabu. Itulah sebabnya JPU dalam tuntutan (requisitur) minta di hadapan majelis hakim agar kedua terdakwa dijatuhi hukuman masing-masing 18 tahun penjara. Benar, bisa saja terdakwa YHY berdalih sama sekali tidak tahu menahu bahwa bawaannya itu berisi shabu dan baru sadar bawaannya itu ternyata berisi barang haram saat ditangkap polisi dan diperlihatkan sebagai barang bukti.
Namun, pengunjung sidang pun seakan “menggugat” bagaimana mungkin YHY tidak menaruh curiga atau sama sekali tidak mengetahui akan isi bawaannya yang dititipkan oleh terdakwa LIT nota bene teman dekatnya sendiri?. Bahkan sangat tidak masuk akal sehat jika YHY sama sekali tidak tahu menahu akan sepak terjang sindikasi peredaran narkoba yang diperankan LIT. Jauh-jauh berdua datang dari Tiongkok ke Indonesia bagaimana mungkin tidak saling kenal?.
Benar tak ada yang bisa memungkiri adalah hak mutlak kuasa legitimasi hakim atas setiap perkara yang ditangani di ruang sidang pengadilan. Mau dibebaskan atau menghukum lebih berat dari tuntutan terserah hakim boleh-boleh saja. Tapi jika merasa diperlakukan tidak adil, silahkan saja putusan hakim itu dikoreksikan ke upaya banding di Pengadilan Tingggi. Kalau lagi-lagi masih timpang, diwajibkan mempersoalkan saja ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Penasaran karena curiga atas proses optimalisasi untuk mendapatkan rasa keadilan, ada baiknya laporkan saja atas kinerja profesionalisme hakim bersangkutan ke Komisi Yudisial. Sebab ada kecenderungan kerangka menegakkan rasa keadilan, para hakim menatapnya hanya sebatas ruangan sidang terkait rasa keadilan terdakwa dan atau saksi pelapor yang sedang berhadapan. Hakim lupa bahwa rasa keadilan para korban ketergantungan narkoba yang begitu banyak tersebar di luar ruangan sidang, sesungguhnya adalah paling utama.
Karena peredaran narkoba sedemikian massif itu dipastikan telah meradang pada kehancuran mentalitas generasi penerus bangsa yang harus kita selamatkan. Sudah barang tentu harapan keselamatan generasi penerus bangsa ini juga ada pada komitmen para hakim untuk tegaknya rasa keadilan para korban ketergantungan narkoba. ***