Mengarang Cerita

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

Ilustrasi

Ilustrasi

MASIH jelas dalam ingatan kita bersama khususnya para pemangku kepentingan negeri ini bahwa pada era sebelum reformasi, sebuah kasus yang sedang disidangkan tidak dibenarkan alias dilarang untuk dikomentari di luar pengadilan.

Bahkan surat kabar-pun haram hukumnya memberitakan komentar para komentator yang memberi komentar tentang materi persidangan, apalagi dari pihak-pihak yang namanya sering disebut oleh tersangka di persidangan.

Pengamat hukum sekalipun pada era itu tidak pernah membuat analisa hukum pada kasus yang sidangnya sedang berjalan, apalagi pihak-pihak yang menjadi calon tersangka. Alasannya saat itu adalah untuk tidak mempengaruhi para penegak hukum yang sedang menguji kebenaran materi perkara.

Namun saat ini pada era reformasi yang gegap gempita ini, semua pihak, baik di media cetak apalagi media elektronika, begitu ramainya mengeluarkan pendapat dan komentar tentang sebuah kasus yang sidangnya sedang berjalan.

Sudah barang tentu, para komentator itu terbagi pada dua kepentingan. Yang satu ingin melindungi pihak-pihak yang calon tersangka baru dan satunya lagi memihak kepada keterangan tersangka. Artinya, komentator yang memihak atau ingin melindungi seseorang atau suatu kelompok, dapat dipastikan kalau isi komentarnya di luar persidangan berusaha mematahkan suara di pengadilan yang merugikan dirinya.

Sebaliknya, jika keterangan-keterangan di persidangan itu menguntungkan pihak-pihak lain, komentator lainnya akan juga berusaha mematahkannya.

Sebut saja misalnya kasus suap wisma atletik dan proyek Hambalang yang menyeret mantan bendahara umum Partai Demokrat, Mohammad Nazaruddin. Sebelum Nazaruddin diringkus dari pelariannya sudah sering ‘’nyanyi’’ menyebur kalau kejahatan itu dia lakukan bersama-sama Ketua Umum PD Anas Urbaningrum, Menteri Pemuda Andi Malarangen dan anggota DPR Angelina Sondakh.

‘’Nyanyian’’ Nazaruddin hingga kini di persidangan masih saja dinyanyikan dan nama-nama petinggi partai yang sedang berkuasa itu masih terus menjadi bahagian dari syair ‘’nyanyi’’-nya.

Benar tidaknya tuduhan Nazaruddin yang menyebut-nyebut nama petinggi PD itu, kita tidak tahu. Jika mau jujur, pengadilan-lah yang sebenarnya yang berhak menentukan kalau keterangan tersangka Nazaruddin itu benar atau tidak.

Anehnya, sidang masih sedang berjalan, komentar sudah gaduh. Bahkan Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum yang oleh Nazaruddin disebut sebagai dalang kejahatan itu, dengan tegas menyebut kalau tuduhan Nazaruddin itu merupakan cerita karangan bin dusta. Kata Anas, tuduha itu adalah merupakan karangan bin dusta yang terus diulang-ulang.

Anas Urbaningrum menilai pernyataan Nazaruddin di persidangan menyoal adanya uang Rp 50 milliar dari PT Adhi Karya untuk pemenangan ketua umum saat kongres di Bandung hanya pengulangan-pengulangan. Anas menganggap Nazaruddin mengatakan dusta. “Itu hanya mengulang-ulang cerita karangan bin dusta,’’ begitu kata Anas.

Menurut Anas, dirinya lebih baik berkonsentrasi untuk konsolidasi Partai Demokrat menjelang Pemilu 2014 ketimbang harus menanggapi ocehan Nazaruddin. “Lebih bermanfaat mengurus konsolidasi partai,” katanya.

Padahal sebenarnya, Anas harus tuntaskan dulu kasusnya baru memikirkan partainya. Mana yang lebih penting mengurus partrai sendiri ketimbang mengurus kepentingan masyarakat. Dan kalau ada tuduhan mengarang cerita, muncul pertanyaan siapa sebenarnya yang tukang karang cerita. Mampukah pengadilan menemukan si tukang cerita yang sebenarnya? ***

CATEGORIES
TAGS
NEWER POST
OLDER POST

COMMENTS