Menghargai Tugas Wartawan

Loading

Oleh: Enderson Tambunan

Ilustrasi

MASIH ada pihak yang melakukan perlakuan buruk kepada wartawan saat melakukan tugas jurnalistik atau peliputan di lapangan. Masih ada pihak yang curiga akan pekerjaan jurnalistik, sehingga menyembunyikan informasi, yang sesungguhnya amat penting diketahui oleh khalayak ramai.

Perlakuan buruk demikian, tidak hanya terjadi di Tanah Air, juga di luar negeri. Kisah seperti itu sering diungkapkan oleh media massa dan menggema secara global.Tapi, perlakuan buruk tak juga berhenti. Mengapa begitu? Jawabannya tentu, kurangnya pemahaman akan tugas wartawan, yang sesungguhnya adalah pelayanan publik.

Kita mengedepankan soal tugas dan atau profesi wartawan ini terkait dengan peringatan 65 tahun pers nasional, yang puncak peringatannya berlangsung di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 9 Februari 2011. Membicarakan pers, berarti pula membicarakan wartawan, sebagai bagian dari pers. Dalam kaitan ini, sudah puluhan tahun kita mengenal pers nasional, dengan semua bentuk perjuangannya, mulai masa pergerakan kemerdekaan hingga era reformasi saat ini.

Kode Etik

Wartawan pasti menjaga nama baiknya dan nama baik penerbitannya, dengan tetap berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Apalagi kehidupan pers diatur oleh undang-undang, yakni UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Wartawan pun tak dingin direpotkan oleh urusan bantah-membantah terkait dengan pemberitaannya. Dan wartawan tak ingin dihukum lantaran tidak profesional atau mencemarkan nama baik orang.

Wartawan terjun ke lapangan dengan bekal kompetensi, yang diperoleh dari pendidikan formal dan pelatihan singkat di perusahaan dia bekerja. Pada umumnya perusahaan penerbitan dan penyiaran lebih dulu melatih reporternya sebelum diterjunkan ke lapangan. Kompetensi itu secara umum menyangkut, pertama, kesadaran akan etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta pentingnya jejaring dan lobi. Kedua, pengetahuan yang mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan khusus. Ketiga, keterampilan yang mencakup kegiatan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M), serta melakukan riset/investigasi, analisis/prediksi, dan menggunakan alat dan teknologi produksi (Buku Panduan Hari Pers Nasional 2010).

Tentu kompetensi tersebut mesti ditingkatkan. Oleh karena itu, organisasi pers, seperti PWI dan penerbitan pers lainnya, sudah sepakat membuka ruang untuk peningkatan kompetensi dimaksud. Pada peringatan Hari Pers Nasional ke-64 di Palembang, 2010, organisasi-organisasi pers sudah satu kata membuka Sekolah Jurnalisme Indonesia. Setiap provinsi diharapkan memiliki sekolah tersebut, yang diawali di Sumatera Selatan. Jadi, upaya menjadikan wartawan profesional sungguh-sungguh dilakukan. Pada saat yang sama disepakati pula melaksanakan KEJ, Standar Perusahaan Pers dan Standar Perlindungan Wartawan

Lalu bagaimana jika terjadi kesalahan, kekeliruan, atau ketidakbenaran dalam pemberitaan? Nah, hal itu diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, terutama menyangkut hak jawab. Hak jawab ini diuraikan dalam Pasal 11 KEJ, sebagai berikut: Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsial. ***

CATEGORIES
TAGS