Mengumbar Janji

Loading

Oleh: Sabar Hutasoit

ilustrasi

ilustrasi

ADA pepatah orang Batak yang bunyinya seperti ini; “Dang matutung baba mandok api’’. Artinya secara umum adalah, mulut tidak akan terbakar kendati dari mulut kita keluar kata-kata api. Sekencang apapun suara kita meneriakkan api…api..api…, mulut kita tetap aman dan tidak terbakar.

Tapi jangan lupa, orang yang sering meneriakkan api..api..api..ternyata api yang dimaksud tidak pernah ada, lama-lama orang yang mendengar tidak percaya lagi kepada yang berteriak itu, walau secara pisik mulutnya tidak terbakar.

Nah, demikianlah adanya saat-saat musim kampanye menghampiri negeri tercinta Republik Indonesia ini. Janji manis dan uenak didengar telinga, berkumandang dimana-mana. Tidak satupun diantara calon legislatif (caleg) apalagi calon presiden yang tidak mengumandangkan janji-janji tadi.

Janji-janji yang sifatnya normatif seperti bebaskan uang sekolah, berobat gratis, harga sembako murah, lalulintas lancar, pengangguran tidak akan ada lagi, keamanan terjamin, korupsi diberantas, utamakan kepentingan rakyat dan banyak lagi janji-janji yang manis yang dalam musim kampanye saat ini terus mengumandang.

Mengucapkannya memang gampang. Tapi melaksanakannya teramat sulit dan belum memang pernah terwujud. Janji-janji tersebut sebenarnya sudah tidak barang baru lagi di telinga masyakarat Indonesia. Ibarat lagu, janji itu adalah lagu lama yang direkam ulang setiap lima tahun sekali. Tujuannya satu, ingin menang dalam pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden.

Soal janji itu akan terwujud atau tidak, bagi mereka-mereka pengumbar janji tidak jadi soal. Yang penting saat-saat genting pemilihan tersebut, para konstituen yang mendengarkannya, ingin dibuat terbuai, hanyut mendengar janji manis setelah itu nama pengumbar janji ditusuk dan jadilah dia anggota dewan yang katanya terhormat di parlemen.

Demikian juga para capres. Tampaknya tidak jauh beda dengan para caleg yakni penumbra janji muluk. Setelah capres menduduki kursi presiden sebagai kursi terempuk di muka bumi ini, janji yang dia ucapkan secara berbusa-busa, seketika itu lupa.

Sang presiden dan para anggota parlemen sudah sibuk meladeni dirinya sendiri, meladeni kelompoknya sendiri dan memenuhi tuntutan keluarga. Bahkan seperti yang kita lihat akhir-akhir ini, mereka yang kita pilih lima tahun silam, sebagian besar melakukan kejahatan merampok uang rakyat.

Dan sebagian besar dari antara mereka, masih ingin bahkan ambisi untuk dipilih kembali pada saat ini dan lagi-lagi mereka mengumbar janji seperti yang diucapkan lima tahun silam saat dirinya kampanye. Yang aneh lagi mereka berani mengklaim dirinya telah memakmurkan negeri ini. Mereka lupa kalau masyarakat kini sudah semakin bijak dan pintar dan tidak mau lagi dicekoki dengan janji-janji palsu.

Karena itu tidak heran jika kampanye saat ini berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya, kampanye pada tahun ini dinilai sepi. Tidak terlihat antusiasme warga saat kampanye untuk mendengar orasi politik kecuali untuk melihat hiburan musik atau mendapat bayaran apakah itu uang, nasi kotak atau sekedar dapat kaus.

Kampanye yang dilakukan peserta pemilu saat ini mengarah hanya pada normalisasi kampanye dengan tujuan hanya untuk mendulang suara. Tidak ada tema yang konsepsional memajukan bangsa dan negara. Timbal balik yang dihasilkan tidak memaksimalkan pendidikan politik. Semuanya hanya instan. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS