Meningkatkan Nilai Tambah SDA, Terlambat

Loading

index

Oleh: Fauzi Aziz

REPUBLIK ini telah mengambil sikap yang tepat, meskipun sebagian kalangan menilai terlambat. Pasalnya,  mengapa baru sekarang berikhtiar meningkatkan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Dikatakan terlambat karena secara de jure rencananya baru ditata kembali setelah adanya PP nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 dan PP nomor 41 tahun 2015 tentang Sumber Daya Industri.

Pada tahap-I tahun 2015-2019, arah rencana pembangunan industri dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah SDA pada industri agro, mineral dan migas yang diikuti dengan industri pendukung dan andalan secara selektif melalui penyiapan SDM yang ahli dan kompeten di bidang industri serta meningkatkan penguasaan teknologi.

Dimasa penjajahan, kepulauan Hindia Belanda menjadi produsen bahan mentah untuk industri di Eropa dan menyewakan tanah pada investor asing lainnya mengembangkan kebun teh dan karet. Investasi di bidang perminyakan dan pertambangan yang semuanya dilakukan dengan menekan populasi lokal, memperkosa hak-hak azasi manusia dan penggunaan kekerasan bagi kelompok yang membangkang (dikutip dari buku Intelejen Ekonomi, Rubiyanto Siswosoe Marto Ph.D).

Catatan sejarah ini penting disampaikan agar pelaksanaan pembangunan industri berbasis SDA tidak merusak tatanan fungsi sosial dan fungsi kelestarian lingkungan. Prof Dr.Yusriadi,SH.MS menyampaikan industrialisasi ditengarai telah melahirkan sejumlah fakta telah terjadinya perubahan besar di negeri ini, baik dalam paradigma ahli hukum, maupun dalam hukum agraria yang berkenaan dengan hak milik atas tanah, berikut fungsi dan perubahan fungsinya.

Industrialisasi dengan keterlibatan pemerintah di sepanjang prosesnya, menyebabkan pemilikan hak atas tanah lebih bertendensi kefaktanya sebagai kewajiban pemilik tanah untuk membantu usaha pembangunan dengan melepaskan tanahnya sewaktu-waktu demi pembangunan. Dalam faktanya selama proses berjalan, pelepasan hak atas tanah demi pembangunan tersebut tidak  berjalan mulus sehingga hampir semua pelaksanaan pembangunan di negeri ini selalu terkendala soal pembebasan lahan.

Konflik kecil dan sedang atau berskala besar acapkali terjadi di masyarakat dengan pemodal. Inilah mengapa ketika pemerintah akan mengembangkan industri berbasis SDA harus betul-betul memperhatikan perubahan fungsi sosial pemilikan tanah dan fungsi kelestarian hidup. Kalau diabaikan, secara potensial gesekan itu bisa terjadi, sehingga perlu dijaga agar pelaksanaan pembangunan industri berbasis SDA tidak memicu terjadinya konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang parah sehingga ratio polusi udara terhadap PDB meningkat tajam.

Pengembangan industri berbasis SDA sudah pasti berhubungan langsung dengan bumi, air dan udara. Jika salah urus, masalah krusial paling gampang meledak adalah terjadinya konflik sosial, lingkungan, bahkan konflik antar negara yang bertetangga. Berangkat dari kompleksitas permasalahan yang ada, maka kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri berbasis SDA banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam kontennya karena dilema dan trade offnya cukup kompleks.

Pertama, dapat dipastikan bahwa pemerintah tidak berlindung di balik sistem kapitalisme, dimana publik sering mencurigai pengelolaan dan pengolahan SDA pemerintah hanya memberikan perhatian kepada pemilik modal. Kedua, akibatnya pemerintah dituding kurang memperhatikan kepentingan dalam negeri antara lain sebagai contoh adalah penjualan gas, dimana pengadaan di dalam negeri harus membayar lebih mahal daripada industri di luar negeri yang membayar lebih rendah ketika membeli gas dari Indonesia.

Ketiga, SDA merupakan salah satu modal dasar pembangunan. Sebagai modal dasar, SDA harus dimanfaatkan sepenuhnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, pada dasarnya pengelolaan SDA harus dicegah untuk diprivatisasi. Industri yang mengolah SDA seyogyanya diprioritaskan untuk dikelola modal nasional dan menempatkan modal asing hanya sebagai pelengkap.

Pengembangan industri berbasis SDA di hulu dan antara semestinya dinyatakan sebagai industri strategis nasional. Keempat, kebijakan nasional mengenai peningkatan nilai tambah SDA di dalamnya harus sekaligus menetapkan tentang pemilihan, pengadaan dan pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan. Substansi yang sama, pemerintah perlu menegaskan adanya progam- progam Corporate Social Res ponsibility(CSR) untuk mengatasi problem sosial yang timbul sekaligus mencegah terjadinya konflik sosial.(penulis adalah pemerhati masalah ekonomi dan industri)

 

Berita Terkait