Menyusul Halaman Berikutnya

Loading

Oleh: Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

Fauzi Aziz

JARGON, ilusi, menggigau, keyakinan atau tekanan, terserah siapa yang akan percaya dengan ungkapan para politikus di negeri ini untuk membela dirinya ketika posisinya tidak diuntungkan.

Untuk membaca buku, tentu banyak cara orang melakukannya dan bergantung pada buku apa yang dibaca. Kalau buku itu adalah buku ilmu pengetahuan, apalagi diwajibkan, harus dibaca karena akan diujikan, maka buku itu pasti akan dicari oleh yang berkepentingan dan akan dipelajari sampai habis isinya. Tapi, kalau buku itu adalah buku cerita atau novel yang bersifat fiksi, maka buku itu belum tentu akan diburu orang, kecuali hanya dibaca oleh orang-orang yang suka membaca cerita fiksi.

Karena cerita fiksi, maka cerita yang dibuat dan diungkapkan oleh pembuatnya pasti disusun berdasarkan ilusi dan lamunan. Dan supaya bisa menarik, maka eksplorasi ide dan alur ceritanya dicari-cari, sehingga si pembaca tersirep, seolah-olah nyata terjadi, padahal fiksi.

Ada lagi buku cerita yang bermuatan true story, ini bisa menjadi menarik kalau alur ceritanya dibuat berdasarkan catatan perjalanan hidup yang clear and clean, baik jika cerita itu menggambarkan kisah si pembuat buku selama perjalanan hidupnya atau menceritakan kehidupan seseorang tentang satu peristiwa. Demi pertimbangan etika, oleh pengarang atau penerbit, nama tokoh yang berperan biasanya disamarkan, meskipun true story.

Dikaitkan dengan peristiwa hukum dan sekaligus peristiwa politik yang menimpa mantan Ketum PD, diharapkan bahwa cerita buku yang akan diiungkap isinya dalam halaman-halaman berikutnya itu adalah benar true story, dan bukan cerita fiksi yang langsung berhubungan dengan cerita tentang dirinya maupun pihak lain yang diduga terlibat, terkait dengan peristiwa hukum yang menimpanya.

Calon pembaca kisah true story, mengharapkan isinya original, tidak ditambah dan dikurangi, atau ada yang disembunyikan. Diungkap penuh kejujuran, tidak ingkar dan hanya sekadar membela diri.

True story yang memilki bobot tinggi dari aspek akuntabilitas publik agar alur ceritanya memiliki nilai pembelajaran yang baik bagi siapa saja. Ceritakan sejak kongres PD di Bandung 2010, sampai true story-nya proyek Hambalang. Tidak perlu melebar ke mana-kemana dulu agar secara original para calon pembaca mengerti dan yakin bahwa apa betul kongres penuh dengan money politics yang jumlahnya masif. Siapa saja yang menggunakan, berapa digunakan dan dari mana sumbernya.

Begitu pula terhadap kasus Hambalang, gelar saja sebagai true story, sebagaimana layaknya KPK melakukan gelar perkara. Siapa yang terlibat, seberapa besar keterlibatannya, dan jika betul ada saweran berapa diterima masing-masing. Karena true story, sebaiknya tidak menuduh. Sebaiknya cerita itu, semuanya harus berdasarkan fakta dan catatan sejarah.

Pakailah bahasa terang, tidak usah pakai bahasa diplomat, apalagi pakai bahasa daerah. Kalau kita butuh harga diri dan reputasi, maka sebagai true story sebaiknya tidak ada hal yang disembunyikan, dan ungkap secara proporsional, sesuai peran masing-masing. Siapa sutradara, siapa pembuat skrip, aktor utama. Siapa pemeran pembantu, siapa penata panggungnya dan seperti apa, production house-nya di mana dan milik siapa, semuanya jelas.

Para pembaca hanya menunggu, dan yang kita tunggu sebenarnya hanya satu hal, yakni true story itu mudah-mudahan tidak bercerita tentang “kebohongan”, tuduhan dan fitnah, karena orang lain juga butuh harga diri dan reputasi. Kecil atau besar setiap gratifikasi yang diterima seseorang dalam konteks apa pun, sebaiknya didideklarasikan tanpa kecuali. Inilah catatan oipini sekilas lintas, dan sebagai para penunggu cerita tentang “Misteri Pada Halaman Berikutnya”.

Cerita ini akan menjadi best seller dan menjadi sesuatu yang bermakna bagi pembelajaran jika AU membuat sebuah pengakuan jujur demi kebaikan bersama, dan tidak menuduh orang lain, apalagi memfitnah karena orang lain juga tidak rela jika harga diri dan reputasinya diinjak-injak di depan publik. ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS