Moralitas Elite Politik Berada Pada Titik Nadir

Loading

Oleh: Marto Tobinh

Ilustrasi

Ilustrasi

APAKAH benar bahwa moralitas para elite politik kebobrokannya sudah berada pada titik nadir..? Jawabnya tentu kita serahkan saja pada etika norma itu sendiri. Tapi yang pasti dari 10 partai politik (parpol) sebagai peserta Pemilu, hanya tiga parpol yang belum terseret-seret, dua parpol pemilik kursi terkecil di DPR dan satu parpol yang baru gabung sebagai peserta pemilu. Selebihnya berperangai sebagai tikus pengerat yang menjadi musuh bebuyutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Perilaku para politisi semakin jauh dari tujuan mensejahterakan rakyat Indonesia. Keluhuran politik telah menjelma menjadi keremeh temehan (banalitas). Banality of politics kini telah menciptakan ruang-ruang publik yang tidak konstruktif bagi pendidikan publik.

Berbagai tindakan kebijakan strategi dan keputusan politik yang didasarkan pada popularisme sesaat telah melahirkan pecundang politik. Kasus-kasus hukum seperti korupsi, pencucian uang dan suap menyeret sejumlah orang partai menunjukkan para elite tidak becus menjalankan politik yang bermartabat.

Anggapan Plato dan Aristoteles bahwa politik sebagai usaha untuk mencapai kebaikan masyarakat nyatanya tidak digubris sama sekali. Politisi seringkali menjamah kemerdekaan iman dan akal sehat . Keyakinan ini menguat ketika muncul laporan ada 54 kader parpol telibat kasus korupsi.

Sepanjang tahun 2012 ada 24 kepala daerah terjerat kasus korupsi terkait penggunaan dana bantuan sosial dan hibah. Tidak jarang pula korupsi dilakukan dalam rangka mengumpulkan dana untuk mengikuti pilkada. Juga ada 26 anggota DPR dan DPRD yang terjerat kasus korupsi karena salah guna kekuasaan.

Data tersebut cukup meyakinkan betapa orang-orang partai yang seharusnya memperjuangkan aspirasi semakin berani melawan rakyat. Yang lebih parah lagi parpol ternyata tidak menganggap korupsi itu sebagai kejahatan yang luar biasa. Kendati sudah begitu banyak kader parpol harus mendekam di penjara karena kejahatan korupsi ternyata tidak juga mampu menghasilkan efek jera untuk tidak melakukan kejahatan serupa.

Bebal karena urat malu sudah putus tentu saja menjadi mutlak diakui adalah sebagai penyebab utama keterpurukan moral. Sumpah jabatan dan titah-titah agama yang diemban dan dianut sesaat bahkan terabaikan ketika nilai-nilai kapitalis mulai melekat untuk ditransaksikan. Tak terbayangkan baru saja bangsa ini bergelut dengan air lumpur banjir, tiba-tiba Rabu malam lalu (30/1) publik sudah dikejutkan oleh pemilik perilaku tak terpuji.

Luthfi Hassan Ishaq, anggota DPR yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), malam itu digiring penyidik KPK dari kantor DPP PKS ke gedung KPK di Jln. Rasuna Said Jaksel. Presiden partai bernuansa agama ini sudah distatuskan sebagai tersangka menerima suap terkait pengurusan daging sapi impor.

Juru Bicara KPK Johan Budi Rabu malam itu, menjelaskan KPK menangkap tangan tiga orang yang diduga terlibat yakni berinisial JE, AAE dan AF. Menurut Johan, bukti-bukti menunjukkan bahwa ada keterlibatan Luthfi, yang disebut dengan inisialnya, dalam kasus tersebut.

“Dari proses tangkap tangan oleh KPK pada Selasa (29/1), penyidik KPK menyimpulkan telah menemukan dua alat bukti yang cukup bahwa LHI terlibat dalam dugaan tindak pidana penyuapan,” ujarnya pada wartawan di gedung KPK.

AAE merujuk pada Arya Abdi Effendi dan JE adalah Juard Effendi, keduanya merupakan Direktur PT Indoguna Utama (IU), sementara AF adalah Ahmad Fathanah, sekretaris pribadi Luthfi.

Beberapa jam setelah ditetapkan sebagai tersangka Rabu malam itu, Luthfi langsung dijemput penyidik KPK di kantor pusat PKS guna menjalani pemeriksaan di gedung KPK.

Sebelum menuju gedung KPK, dengan didampingi para pengurus pusat PKS, Luthfi membantah telah menerima uang suap impor daging sapi yang membuatnya ditetapkan sebagai tersangka. Ia juga mengatakan tidak ada satu pun kadernya yang menerima uang suap itu.

“Sebagai warga negara Indonesia, sudah barang tentu saya taat pada hukum yang berlaku dan akan menghormati segala proses hukum yang ada. Tetapi sudah barang tentu indikasi atau informasi tentang penyuapan itu, andai itu benar, sudah barang tentu saya tidak akan menerimanya.

Tidak saya, tidak pula partai saya, dan tidak pula kader-kader dan pengurus partai, tidak menerima penyuapan seperti itu,” ujar Luthfi, yang juga anggota Komisi I DPR bidang hubungan luar negeri, pertahanan, intelijen, dan informasi komunikasi.

Hingga Kamis (31/1) dini hari, Luthfi masih menjalani pemeriksaan KPK, sementara Arya dan Juard serta Ahmad telah ditahan penyidik KPK.

Penyidik KPK pada Kamis dini hari juga melakukan penggeledahan sejumlah lokasi, antara lain di kantor Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, kemudian di kantor PT Indoguna Utama dan rumah para tersangka. Elite Parpol mana lagi yang bakal menyusul borgol KPK..? Jangan sampai..! ***

CATEGORIES
TAGS

COMMENTS