Mudik,Ekonomi Semusim yang Membawa Berkah

Loading

info-mudik-jalur-rrrrrrrrrr

Oleh: Fauzi Aziz

MUDIK adalah kesempatan langka yang terjadi setiap tahun di saat Idul Fitri. Di bandara, pelabuhan laut, jalan tol, terminal bus, stasiun KA, pasar dan mal, suasananya sangat hiruk pikuk.

Demikian juga Bank Indonesia (BI). Untuk keperluan lebaran, BI menyediakan likuiditas sekitar Rp 150 triliun. Belum lagi yang disediakan di beberapa kantor cabang BI di daerah. Tidak ada yang salah dengan kegiatan mudik ini. Sah-sah saja dan tidak bisa dilarang karena sudah menjadi tradisi positif.

Positif bagi keluarga yang mudik dan positif bagi kegiatan ekonomi dan tentu juga bagi pemerintah. Semua moda angkutan tanpa kecuali keluar dari garasi/tempat parkirnya masing-masing. Shalad Ied dan saling bermaaf-maafan, atau kegiatan nyekar ke makam keluarga yang sudah meninggal merupakan momen indah yang tak ternilai oleh jumlah likuiditas.

Jakarta lengang karena jutaan manusia kembali ke kampung halaman. Cuti bersama benar-benar dimanfaatkan oleh PNS dimana-mana. Pejabat tinggi negara juga sebagian ada yang ikut menikmati mudik. Pendek kata, golongan kelas menengah atas, tengah dan kelas menengah bawah sangat menikmati tradisi mudik massal.

Brexit bagi Inggris dan negara-negara Uni Eropa bisa dianggap sebagai musibah bagi mereka. Tapi Brexit (Brebes Exit) di Indonesia adalah berkah bagi pedagang telor asin, bawang merah dan sate kambing muda menikmati rezeki yang nilai bisnisnya per hari bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Begitu sampai Pekalongan, para pemudik ini masih bisa memborong batik di Pusat Grosir Batik Sentono yang selalu menjadi ampiran pemudik di Jalur Pantura. Ekonomi kerakyatan, UMKM semua bergerak menikmati discresional income para pemudik yang sudah dicadangkan untuk menikmati libur panjang di kampung halaman masing-masing.

Gemuruh, riuh dan semua bersahabat dengan baik di jalanan saat kemacetan mulai mengular. Tidak ada percekcokan dan marah-marah di antara pemudik yang jalan darat ketika kemacetan terjadi. Semua happy karena kemacetan sudah menjadi makanan hari-hari di Jakarta. Kemacetan sudah dianggap biasa dan terlatih kesabarannya.

Jakarta Yogja ditempuh 30 jam tidak ada masalah karena kemacetan dianggap sebagai kenikmatan sendiri yang patut mereka nikmati. Hotel-hotel di daerah semua full book, kuliner khas daerah disediakan oleh penjajanya dalam jumlah lebih banyak dari hari-hari biasa, termasuk penyedia jasa pijat tradisional ikut mengais rezki yang lumayan.

Harga tidak ada yang menyoal mahal. Kalau dijual murah orang desa yang hidup di kota besar seperti Jakarta malah terheran-heran. Tempat-tempat wisata pasti banyak dikunjungi pemudik, termasuk pusat-pusat wisata desa yang sekarang ini mulai berkembang di beberapa daerah.

Sharing economy tengah menjadi model bisnis yang menjanjikan dewasa ini seiring berkembangnya kegiatan wisata desa. Yuswohady, pakar marketing menyebutnya dengan istilah “Laskar Pemudik” yang sangat power full.

Bayangkan jika mereka sepakat “mogok” tak kembali lagi ke Jakarta setelah lebaran, bisa dipastikan Jakarta akan lemas lunglai kehabisan “darah”. Kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik Jakarta (dan Indonesia) praktis ditopang serta dikendalikan oleh kelompok Laskar Pemudik tersebut.

Sayang, mereka tidak bersatu padu membentuk partai. Kalau ya, pasti PDIP, Golkar atau Demokrat atau partai lain akan keok. Bayangkan mereka adalah konsumen. Selama ini pengeluaran belanjanya setiap hari antara 2-20 dolar AS sebagai kelas menengah.

Pengeluaran belanjanya menyumbang PDB rata-rata di atas 50% per tahun. Ekonomi Indonesia penggeraknya adalah pengeluaran belanja masyarakat. Ini berjalan sudah satu dasawarsa lebih. Jadi wajar kalau kegiatan mudik tahunan ini tidak pernah surut, bahkan tambah membengkak.

Daerah harus menjadi titik penyeimbang ekonomi Jakarta, dimana sekitar 70% perputaran likuiditas terjadi di DKI. Wajar kalau wilayah DKI terancam tenggelam karena eco system-nya sudah tidak mendukung. Kunjungan ke daerah sejatinya tidak lagi hanya saat mudik lebaran saja. Setiap liburan natal, tahun baru dan liburan sekolah, “tradisi mudik” juga terjadi meskipun dalam skala yang tidak masif.

Ini memberikan pelajaran bahwa sejatinya Jakarta sudah tidak nyaman bagi sebagian penduduk karena di sekitarnya sudah dikelilingi hutan beton yang tak terkendali. Lanskap kotanya sudah carut marut dan hutan beton yang tumbuh subur di wilayah DKI dapat merusak jiwa manusia karena suntuk dan penat.

Pelariannya saat musim liburan tiba, mereka pasti berhamburan keluar Jakarta mencari udara segar ke daerah lain. Jadi kegiatan mudik kini telah menjadi bagian dari kegiatan wisata yang destinasinya adalah kampung halaman masing-masing dan daerah lain.

Inilah selintas ekonomi mudik yang tiap tahun terus menggeliat. Laskar Pemudik telah membuktikan, mereka adalah economic driver yang mampu menggerakkan ekonomi nasional. Pantas kalau likuiditasnya harus dipompa karena aktifitas Laskar Pemudik ini mampu menggerakkan kegiatan ekonomi kerakyatan dan ekonomi pedesaan. Memang kelemahannya adalah bahwa ekonomi mudik menjadi serba mahal. Harga daging sapi dan ayam naik. Tiket pesawat, kapal laut, KA dan bus dijual dengan tarif atas dan tarif tuslag bagi angkutan bus.

Inflasi bulan Juni-Juli secara potensial akan naik, tetapi apalah artinya inflasi, jika hati mereka para pemudik senang dan gembira karena bisa berkumpul dengan sanak keluarganya di kampung halaman masing-masing. (penulis adalah pemerhati masalah sosial ekonomi dan industri).

CATEGORIES
TAGS